Kamis, 03 Februari 2011

askep cardiogenik syok

Laporan pendahuluan A. Definisi Syok kardiogenik didefinisikan sebagai adanya tanda-tanda hipoperfusi jaringan yang diakibatkan oleh gagal jantung rendah preload dikoreksi. Tidak ada definisi yang jelas dari parameter hemodinamik, akan tetapi syok kardiogenik biasanya ditandai dengan penurunan tekanan darah (sistolik kurang dari 90 mmHg, atau berkurangnya tekanan arteri rata-rata lebih dari 30 mmHg) dan atau penurunan pengeluaran urin (kurang dari 0,5 ml/kg/jam) dengan laju nadi lebih dari 60 kali per menit dengan atau tanpa adanya kongesti organ. Tidak ada batas yang jelas antara sindrom curah jantung rendah dengan syok kerdiogenik. (www.fkuii.org)
Syok kardiogenik merupakan stadium akhir disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kongestif, terjadi bila ventrikel kiri mengalami kerusakan yang luas. Otot jantung kehilangan kekuatan kontraktilitasnya,menimbulkan penurunan curah jantung dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat ke organ vital (jantung,otak, ginjal). Derajat syok sebanding dengan disfungsi ventrikel kiri. Meskipun syok kardiogenik biasanya sering terjadi sebagai komplikasi MI, namun bisa juga terajdi pada temponade jantung, emboli paru, kardiomiopati dan disritmia. (Brunner & Suddarth, 2001)
Syok kardiogenik adalah dyok yang disebabkan karena fungsi jantung yang tidak adekua, seperti pada infark miokard atau obstruksi mekanik jantung; manifestasinya meliputi hipovolemia, hipotensi, kulit dingin, nadi yang lemah, kekacauan mental, dan kegelisahan. (Kamus Kedokteran Dorland, 1998)
B. Etiologi
Lab/SMF Anestesiologi FKUA/RSUP Dr. M. Djamil, Padang mengklasifikasikan penyebab syok kardiogenik sebagai berikut :
a. Penyakit jantung iskemik (IHD)
b. Obat-obatan yang mendepresi jantung
c. Gangguan Irama Jantung
C. Manifestasi Klinis
Syok kardiogenik ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel kiri yang mengakibatkan gangguan mengakibatkan gangguan fungsi ventrikel kiri yaitu mengakibatkan gangguan berat pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke jaringan yang khas pada syok kardiogenik yang disebabkan oleh infark miokardium akut adalah hilangnya 40% atau lebih jaringan otot pada ventrikel kiri dan nekrosis vocal di seluruh ventrikel karena ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen miokardium. Gmbaran klinis gagal jantung kiri :

a. Sesak napas dyspnea on effert, paroxymal nocturnal dyspnea
b. Pernapasan cheyne stokes
c. Batuk-batuk
d. Sianosis
e. Suara serak
f. Ronchi basah, halus tidak nyaring di daerah basal paru hydrothorax
g. Kelainan jantung seperti pembesaran jantung, irama gallop, tachycardia
h. BMR mungkin naik
i. Kelainan pada foto rontgen
D. Patofisiologi
Tanda dan gejala syok kardiogenik mencerminkan sifat sirkulasi patofisiologi gagal jantung. Kerusakan jantung mengakibatkan penurunan curah jantung, yang pada gilirannya menurunkan tekanan darah arteria ke organ-organ vital. Aliran darah ke arteri koroner berkurang, sehingga asupan oksigen ke jantung menurun, yang pada gilirannya meningkatkan iskemia dan penurunan lebih lanjut kemampuan jantung untuk memompa, akhirnya terjadilah lingkaran setan.
Tanda klasik syok kardiogenik adalah tekanan darah rendah, nadi cepat dan lemah, hipoksia otak yang termanifestasi dengan adanya konfusi dan agitasi, penurunan haluaran urin, serta kulit yang dingin dan lembab.
Disritmia sering terjadi akibat penurunan oksigen ke jantung.seperti pada gagal jantung, penggunaan kateter arteri pulmonal untuk mengukur tekanan ventrikel kiri dan curah jantung sangat penting untuk mengkaji beratnya masalah dan mengevaluasi penatalaksanaan yang telah dilakukan. Peningkatan tekananakhir diastolik ventrikel kiri yang berkelanjutan (LVEDP = Left Ventrikel End Diastolik Pressure) menunjukkan bahwa jantung gagal untuk berfungsi sebagai pompa yang efektif.
F. Penatalaksanaan
Tindakan umum. Ada berbagai pendekatan pada penatalaksanaan syok kardiogenik. Setiap disritmia mayor harus dikoreksi karena mungkin dapat menyebabkan atau berperan pada terjadinya syok. Bila dari hasil pengukuran tekanan diduga atau terdeteksi terjadi hipovolemia atau volume intravaskuler rendah. Pasien harus diberi infus IV untuk menambah jumlah cairan dalam sistem sirkulasi. Bila terjadi hipoksia, berikan oksigen, kadang dengan tekanan positif bila aliran biasa tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan jaringan.
Farmakoterapi. Terapi medis dipilih dan diarahkan sesuai dengan curah jantung dan tekanan darah arteri rerata. Salah satu kelompok obat yang biasa digunakan adalah katekolamin yang dapat meningkatkan tekanan darah dan curah jantung. Namun demikian mereka cenderung meningkatkan beban kerja jantung dengan meningkatkan kebutuhan oksigen.
Bahan vasoaktif seperti natrium nitroprusida dan nitrogliserin adalah obat yang efektif untuk menurunkan tekanan darah sehingga kerja jantung menurun. Bahan-bahan ini menyebabkan arteri dan vena mengalami dilatasi, sehingga menimbulkan lebih banyak pintasan volume intravaskuler keperifer dan menyebabkan penurunan preload dan afterload. Bahan vasoaktif ini biasanya diberikan bersama dopamin, suatu vasopresor yang membantu memelihara tekanan darah yang adekuat.
Pompa Balon Intra Aorta. Terapi lain yang digunakan untuk menangani syok kardiogenik meliputi penggunaan alat bantu sirkulasi. Sistem bantuan mekanis yang paling sering digunakan adalah Pompa Balon Intra Aorta (IABP = Intra Aorta Baloon Pump). IABP menggunakan counterpulsation internal untuk menguatkan kerja pemompaan jantung dengan cara pengembangan dan pengempisan balon secara teratur yang diletakkan di aorta descendens. Alat ini dihubungkan dengan kotak pengontrol yang seirama dengan aktivitas elektrokardiogram. Pemantauan hemodinamika juga sangat penting untuk menentukan position sirkulasi pasien selama penggunaan IABP.
Balon dikembangkan selam diastole ventrikel dan dikempiskan selama sistole dengan kecepatan yang sama dengan frekuensi jantung. IABP akan menguatkan diastole,yang mengakibatkan peningkatan perfusi arteria koronaria jantung. IABP dikempiskan selama sistole, yang akan mengurangi beban kerja ventrikel.
Penatalaksanaan yang lain :
a. Istirahat
b. Diit, diit jantung, makanan lunak, rendah garam
c. Pemberian digitalis, membantu kontraksi jantung dan memperlambat frekuensi jantung. Hasil yang diharapkan peningkatan curah jantung, penurunan tekanan vena, dan volume darah dan peningkatan diuresis akan mengurangi edema. Pada saat pemberian ini pasien harus dipantau terhadap hilangnya dispnea, ortopnea, berkurangnya krekel, dan edema perifer. Apabila terjadi keracunan ditandai dengan anoreksia, mual dan muntah namun itu gejala awal selanjutnya akan terjadi perubahan irama, bradikardi kontrak ventrikel premature, bigemini (denyut normal dan premature saling bergantian), dan takikardia atria proksimal.
d. Pemberian diuretik, yaitu untuk memacu ekskresi natrium dan air melalui ginjal. Bila sudah diresepkan harus diberikan pada siang hari agar tidak menganggu istirahat pada malam hari, intake dan output pasien harus dicatat mungkin pasien dapat mengalami kehilangan cairan setelah pemberian diuretik. Pasien juga harus menimbang badannya setiap hari turgor kulit untuk menghindari terjadinya tanda-tanda dehidrasi.
e. Morfin, diberikan untuk mengurangi sesak napas pada asma cardial, hati-hati depresi pernapasan.
f. Pemberian oksigen
g. Terapi vasodilator dan natrium nitropurisida, obat-obatan vasoaktif merupakan pengobatan utama untuk mengurangi impedansi (tekanan) terhadap penyemburan darah oleh ventrikel.
VI. Penanganan
Penanganan hemodinamik kardiogenik syok meliputi mengkoreksi patofisiologi abnormal, tanpa menyebabkan peninggian kebutuhan oksigen miokard.
Oleh karena jantung yang gagal, sangat sensitif terhadap peningkatan after load, tahanan vaskuler sistimik harus dipertahankan pada nilai normal rendah. Hal yang sama penting adalah mempertahankan pre load optimal (Raharjo, S., (1997).Penanganan meliputi suportip umum, stabilisasi hemodinamik optimalisasi O2 "miokard supplay", ratio demand supplay, serta pengobatan spesifik.

A. Suportip Umum
Penanggulangan nyeri, koreksi status asam basa, gangguan elektrolit, serta pengobatan terhadap arrythia. Pemberian O2 untuk mengoreksi hipoksemia, bila hipoksemia menetap atau potensial untuk timbulnya syok berulang, lakukan intubasi dan mekanikal ventilasi dengan PEEP. (Positive end expiratory pressure), dengan penggunaan PEEP serta sedasi dalam mekanikal ventilasi harus waspada timbulnya hipotensi yang berat.


B. Monitoring
1. Pengukuran tekanan arteri
Pengukuran tekanan vena dengan CVP
Penilaian terhadap curah jantung, perfusi kulit, produksi urin/jam, serta status mental penderita sebagai petunjuk perfusi jaringan
2. Penilaian lain :
EKG dan ensim kardial
AGD (analisa gas darah) dan laktat plasma
Hb, elektrolit, ureum, creatinin

C. Penanganan terhadap gangguan hemodinamik
1. Pada PCWP kurang dari 18 mmHg.
Tindakan awal, dilakukan dengan ekspansi volume plasma, untuk menentukan status volume plasma.
2. Pada PCWP dengan nilai lebih dari 18 mmHg.
Sebagian besar penderita dengan gambaran ini, sehingga pengobatan bertujuan untuk menurunkan, serta tetap normotensip setelah loading cairan. Untuk memperbaiki fungsi hemodinamik dapat dipergunakan obat dan "mechanical circulatory assistance".

D. Perawatan
Pada dekompensasi jantung kiri tidak dengan bantal, tetapi tidak terlalu tinggi, supaya tidak memberatkan anoksia serebral.
Bebaskan jalan napas dan berikan O2, kalau perlu dengan pipa endotrakea dan bantuan pernapasan. Sesuaikan dengan hasil analisis gas darah (Raharjo, S., (1997).
Pasan galat pantau jantung dan tensi serta masukkan jalur arteri (arterial line) dengan pencatatan tekanan (pressure recording) TVS, atau lebih baik memakai kateter Swan – Ganz untuk mengukur tekanan atrium kanan (TAK), tekana arteri pulmonalis (TAP), tekanan kapiler baji paru (TBKP) dan curah jantung.
Pantau produksi urin dengan memasang kateter tetap (dauer katheter).
Obat penenang : Valium atau lainnya.

VII. Pengobatan
1.Bila karena aritmia
Diberikan pengobatan aritmia yang sesuai. Untuk fibrilasi atrium cepat, takikardia atrium paroksismal, takikardia ventrikel, fibrilasi ventrikel, diberikan terapi defibrilasi (DC shock). Pada bradiaritmia diberikan salfas atropin, isopreterenol 1-2 mcg/menit atau dengan pace maker (Raharjo, S., (1997).
2. Gangguan mekanis.
Pada efusi perikardial, dilakukan fungsi perikard. Pada ruptur septum interventrikular dan aneurisma, dilakukan operasi.
3. Obstruksi aliran masuk (inflow)
Pada stenosis mitral untuk mengontrol takiaritmia, diberikan digitalis, isoptin dan kalau perlu dioperasi. Sedangkan pada trombus atau miksoma, dicarikan posisi yang terbaik untuk curah jantungnya. Dengan mengubah posisi dapat mengurangi obstruksi aliran masuk oleh miksoma atau trombus, yang masih mobil di atrium kiri. Kalau perlu dilakukan operasi (Raharjo, S., (1997).
4. Obstruksi aliran ke luar dan kardiomiopati restriktif atau kardiomiopati hipertrofik.
Memerlukan vasodilator (arterio-venul, seperti nitroprusside, capoten dan lain-lain). Pada stenosis atrium dapat juga dipertimbangkan untuk melakukan operasi.
5. Gangguan kontraktilitas.
a.Penambahan volume (cairan).
Tanpa pemantauan, lakukan tes dengan memberikan cairan (misalnya dekstrose 5%) dalam waktu cepat 100 cc/5-10 menit, lalu tekanan darah diukur. Bila tekanan darah meninggi, berarti memang perlu penambahan volume, maka pemberian cairan lebih perlahan-lahan, sambil memantau tekanan darah. Perhatikan juga apakah pasien tambah sesak dan ronki basah di paru bertambah, yang berarti pemberian cairan harus dihentikan. Dengan pemantauan TVS, bila TVS < 15 cm H2O, maka dapat dilakukan tes dengan memberikan cairan lebih cepat yaitu 100 cc/5-10 menit, sampai TVS naik 2-3 cm H2O, dan ukur tekanan darah. Bila tekanan darah meninggi, berarti cairan perlu ditambah. Bila tekanan darah tidak naik, dan pasien tambah sesak serta ronki juga bertambah, maka cairan dihentikan (Raharjo, S., (1997).
Dengan pemantauan memakai kateter Swan-Ganz, perhatikan tekanan atrium kanan (TAK), tekanan vena sentral (TVS) dan tekanan kapiler baji paru (TKBP).
Bila TAK 5-12 cm H2O, boleh ditambah s/d 18 cm H2O dan bila TKBP 5-12 mmHg, boleh ditambah s/d 18 mmHg. Bila TAK <12 cm H2O dan TKBP <15 mmHg maka cairan diberikan dengan cepat, sedangkan bila TAK 12-15 cm H2O dan TKBP 15-18 mmHg, cairan diberikan lebih perlahan. Pemberian cairan harus meninggikan tekanan darh dan menambah curah jantung serta indeks jantung (Raharjo, S., (1997).
b.Obat-obatan
1) Vasopresor
Diberikan sesudah koreksi cairan dan ventilasi.
Bila ada bradikardi, terutama diberikan isoproterenol untuk meninggikan O2 miokard, sehingga tidak dapat memperluas infark jantung.
Noradrenalin 16 mg atau 10 mg pentolamin dalam 500 cc dekstrose 5% atau Metaraminol.
Pemberian Dopamin atau Dobutamin drip intravena paling dianjurkan, karena aliran darah ginjal dapat bertambah (Zunilda, SB., dkk.,1995).
2) Vasodilator
Nitroglycerine mengurangi prabeban (preload) sebagai vasodilator koroner.
Na Nitroprusside mengurangi prabeban dan pasca beban (pre & afterload). Dosis Na Nitropruside 0,5-3 mcg/kg/menit.
Captopril juga mengurangi prabeban dan pasca beban.
3)Inotropik
Digitalis dipakai pada takikardia, dengan tujuan menaikkan konsumsi oksigen. Glukogen tidak nyata manfaatnya pada takikardia.
3) Diuretik
Dengan memberikan diuretik, berarti mengurangi prabeban.
4) Kortikosteroid
Efek pemberian kortikosteroir banyak. Selalu bermanfaat, untuk mencegah kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh anoksia. Karena itu bila mungkin dan tidak ada kontraindikasi, selalu harus diberikan (Benowitz,Neal., dkk., 1998).
5) Pemilihan obat-obat.
Sesudah dilakukan evaluasi dan koreksi volume darah.
Bila ekstremitas tidak dingin, diberikan vasopressor, yaitu noradrenalin atau metaraminol. Tekanan darah sistolik tidak usah lebih dari 90-100 mmHg. Bila mungkin diperiksa asam laktat. Kalau kemudian meninggi, maka harus diganti dengan obat vasodilator. Bila ekstremitas agak
dingin, sebagai vasopresor dipakai Dopamin (Zunilda, SB., dkk., (1995).
Bila ekstremitas dingin sekali, kulit lembab dan pucat, (asam laktat pasti meninggi), maka diberikan obat vasodilator. Bila dengan cara ini tekanan darah turun maka volum ditambah selama pasien tidak bertambah sesak dan ronki basah tidak bertambah. Setelah itu dapat diberikan Dopamin (Raharjo, S., (1997).
6) Obat
Pada kardiogenik syok setelah tercapai pre load yang optimal sering dibutuhkan inotropik untuk memperbaiki kontraktilitas dan obat lain untuk menurunkan after load.
a. Katekolamin
Termasuk dalam kelompok ini, adrenalin, noradrenalin, isoproterenol, dopamin dan dobutamin, secara umum akan menaikkan tekanan arteri, perfusi koroner, kontraktilitas dan kenaikan denyut jantung, serta vasokontriksi perifer (Zunilda, SB., dkk.,1995).
Kenaikan tekanan arteri akan meningkatkan konsumsi oksigen, serta kerja yang tidak diinginkan potensial menimbulkan arrythmia.
b. Adrenalin, noradrenalin dan isoproterenol
Mempunyai aktivitas stimulasi alfa kuat. Aktivitas kronotropik dipunyai ke 3 obat tersebut. Stimulai alfa kuat menyebabkan vaskontriksi kuat, sehingga meningkatkan tension dinding miokard yang dapat mengganggu aktivitas inotropik. Isoproterenol merupakan vasodilator kuat dan cenderung menurunkan aliran darah dan tekanan perfusi koroner. Disamping itu isoproterenol akan sangat meningkatkan kontraktilitas miokard dan laju jantung, sebagai akibatnya terjadi peningkatan konsumsi oksigen miokard yang sangat berbahaya pada kardiogenik syok (Mustafa I, 1994).
c. Dopamin
Merupakan prekusor endogen noradrenalin, menstimuli reseptor beta, alfa dan dopaminergik. Dopamin juga mempunyai efek "tyramine like" yang akan menyebabkan pelepasan noradrenalin endogen. Pengaruh dopamin terhadap jantung adalah stimulasi reseptor beta 1, pada dosis 5-10 mg/kgBB/ menit, sedang pada dosis melebihi 10 mcg/kgBB/menit, dopamin mulai mestimulasi reseptor alfa 1 yang menyebabkan peningkatan tekanan arteri sistimik dan tekanan venosa, oleh karena meningkatkan tahanan vaskuler sistimik dapat memperburuk fungsi miokard (Raharjo, S., 1997).
Dopamin meningkatkan aliran darah kortek ginjal melalui stimulasi reseptor dopaminergik, pada dosis 0,5 – 2 mcg/kgBB/menit.
Takikardi berlebihan, yang akan menurunkan waktu untuk pengisian ventrikel dan peningkatan konsumsi oksigen miokard merupakan efek-efek yang tidak diingkan pada dopamin.
Diantara katekolamin di atas, dobutamin merupakan inotropik standard yang digunakan sebagai pembanding. Dobutamin mempunyai efek terbatas pada tekanan darah serta meningkatkan curah jantung tanpa pengaruh bermakna pada tekanan darah, sebagai akibatnya tahanan vaskuler sistimik, tekanan vena, denyut jantung menurun. Pada penggunaan dobutamin, bila terjadi penurunan rekanan darah umumnya menandakan terdapat hipovolemia (Benowitz,Neal., dkk., 1998).
Dobutamin terutama bekerja pada reseptor beta, dengan rentan dosis 2–40 mcg/kgBB/menit. Pada dosis tersebut akan menaikkan kontraktilitas dengan sedikit efek chronotropik tanpa vasokonstriksi.
d. Digoxin
Digunakan untuk memperbaiki kontraksi miokard, namun mempunyai mula kerja, ekskresi yang lama, serta rasio terapi yang rendah, sehingga kurang effektif pada penggunaan sebagai inotropik pada kardiogenik syok.
e. Vasodilator
Kerja yang bermakna pada penggunaan vasodilator untuk mengurangi kerja miokard dan kebutuhan oksigen miokard.
Shoemaker, 1989, penggunaan vasodilator kurang efektif pada kardiogenik syok, dibanding penggunaan pada gagal ventrikel kiri akut/kronik, bila kerusakan miokard dan kolaps kardiovaskuler begitu berat (Shoemaker, 1989).
Sodium nitropruside, akan menaikan curah jantung pada penderita gagal ventrikel kiri dan syok setelah infark miokard. Dosis awal 10 mcg/kgBB/menit, maksimal dosis 500 mcg/kgBB/menit.
Nitrogliserine, berfungsi sebagai venodilator pada penggunaan intravena, dengan mula kerja yang cepat, dosis 10-40 mcg/kgBB/menit.
Salbutamol; beta 2 agonis, berfungsi sebagai arteriol dilator. Pada beberapa keadaan kombinasi katekolamin dan vasodilator sering dipergunakan untuk mendapatkan status hemodinamika yang baik.
7) Mechanical Circulatory Assitance
Dipergunakan pada penderita yang tidak responsif dengan pengobatan diatas.
a. IABP (Intra Aortic Ballon Pump)
Dimasukkan lewat arteri besar dengan bantuan floroscop, disinkronasi dengan EKG pada aorta. Balon dikembangkan saat diastolik, dengan harapan akan meningkatkan tekanan diastolik, sehingga memperkuat aliran koroner, perfusi koroner menjadi baik. Dikempiskan saat sebelum sistolik ventrikel yang akan menurunkan tekanan aorta dan ventrikel "after load" (Raharjo, S., 1997).
Hasil akhir akan menaikkan perfusi koroner, menurunkan kerja miokard dan kebutuhan oksigen miokard.
b. VAD (Ventrikuler Assist Devices)
Digunakan pada kardiogenik syok yang dengan IASP, obat tidak menunjukkan manfaat.
Apabila PCWP, curah jantung, tahanan vaskuler sistimik dan tekanan darah dapat diukur, algoritme tersebut dapat dipergunakan pada kardiogenik syok (Mustafa, I. 1994).
VIII. Komplikasi
1. Trombosis vena dalam, karena pembentukan bekuan vena karena stasis darah.
2. Syok kongestik
3. Toksisitas digitalis akibat pemakaian obat-obatan digitalis.
Pada keadaan lanjut akan diikuti hipoksemia primer ataupun sekunder, terjadi karena ketidakseimbangan ventilasi-perfusi, hipovolemia, dan asidosis metabolic(Raharjo,S.,1997).
Hipovolemia, komplikasi yang sering terjadi pada kardiogenik syok, disebabkan meningkatnya perspirasi-redistribusi cairan dari intravaskular keinterstitiel, stres akut, ataupun penggunaan diuretika (Raharjo, S., 1997)

XI.Pemeriksaan Penunjang
1. EKG; mengetahui hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpanan aksis, iskemia dan kerusakan pola.
2. ECG; mengetahui adanya sinus takikardi, iskemi, infark/fibrilasi atrium, ventrikel hipertrofi, disfungsi pentyakit katub jantung.
3. Rontgen dada; Menunjukkan pembesaran jantung. Bayangan mencerminkan dilatasi atau hipertrofi bilik atau perubahan dalam pembuluh darah atau peningkatan tekanan pulnonal.
4. Scan Jantung; Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan gerakan jantung.
5. Kateterisasi jantung; Tekanan abnormal menunjukkan indikasi dan membantu membedakan gagal jantung sisi kanan dan kiri, stenosis katub atau insufisiensi serta mengkaji potensi arteri koroner.
6. Elektrolit; mungkin berubah karena perpindahan cairan atau penurunan fungsi ginjal, terapi diuretic.
7. Oksimetri nadi; Saturasi Oksigen mungkin rendah terutama jika CHF memperburuk PPOM.
8. AGD; Gagal ventrikel kiri ditandai alkalosis respiratorik ringan atau hipoksemia dengan peningkatan tekanan karbondioksida.
9. Enzim jantung; meningkat bila terjadi kerusakan jaringan-jaringan jantung,missal infark miokard (Kreatinin fosfokinase/CPK, isoenzim CPK dan Dehidrogenase Laktat/LDH, isoenzim LDH).
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian primer
1. Airway: penilaian akan kepatenan jalan napas, meliputi pemeriksaan mengenai adanya obstruksi jalan napas, adanya benda asing. Pada klien yang dapat berbicara dapat dianggap jalan napas bersih. Dilakukan pula pengkajian adanya suara napas tambahan seperti snoring.
2. Breathing: frekuensi napas, apakah ada penggunaan otot bantu pernapasan, retraksi dinding dada, adanya sesak napas. Palpasi pengembangan paru, auskultasi suara napas, kaji adanya suara napas tambahan seperti ronchi, wheezing, dan kaji adanya trauma pada dada.
3. Circulation: dilakukan pengkajian tentang volume darah dan cardiac output serta adanya perdarahan. Pengkajian juga meliputi status hemodinamik, warna kulit, nadi.
4. Disability: nilai tingkat kesadaran, serta ukuran dan reaksi pupil.
B. Pengkajian sekunder
Pengkajian sekunder meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis dapat menggunakan format AMPLE (alergi, medikasi, past illness, last meal, dan environment). Pemeriksaan fisik dimulai dari kepala hingga kaki dan dapat pula ditambahkan pemeriksaan diagnostik yang lebih spesifik seperti foto thoraks,dll.
C. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
1. Inefektif bersihan jalan napas b.d penurunan reflek batuk
2. Kerusakan pertukaran gas b.d. perubahan membran kapiler-alveolar
3. Penurunan curah jantung b.d. perubahan kontraktilitas miokardial/ perubahan inotropik.
4. Kelebihan volume cairan b.d. meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium/air.
D. Intervensi keperawatan
1. Diagnosa: Inefektif bersihan jalan napas b.d penurunan reflek batuk
Tujuan: setelah dilakuakn tindakan keprawatan, pasien menunjukkan jalan napas paten
Kriteria hasil:
- tidak ada suara snoring
- tidak terjadi aspirasi
- tidak sesak napas
Intervensi:
- kaji kepatenan jalan napas
- evaluasi gerakan dada
- auskultasi bunyi napas bilateral, catat adanya ronki
- catat adanya dispnu,
- lakukan pengisapan lendir secara berkala
- berikan fisioterapi dada
- berikan obat bronkodilator dengan aerosol.
2. Diagnosa: Kerusakan pertukaran gas b.d. perubahan membran kapiler-alveolar
Tujuan: setelah dilakukan tindakan kerpawatan, pasien dapat menunjukkan oksigenasi dan ventilasi adekuat
Kriteria hasil:
- GDA dalan rentang normal
- Tidak ada sesak napas
- Tidak ada tanda sianosis atau pucat
Intervensi:
- auskultasi bunyi napas, catat adanya krekels, mengi
- berikan perubahan posisi sesering mungkin
- pertahankan posisi duduk semifowler
3. Diagnosa: Penurunan curah jantung b.d. perubahan kontraktilitas miokardial/ perubahan inotropik.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan, pasien menunjukkan tanda peningkatan curah jantung adekuat.
Kriteria hasil:
- frekuensi jantung meningkat
- status hemodinamik stabil
- haluaran urin adekuat
- tidak terjadi dispnu
- tingkat kesadaran meningkat
- akral hangat
Intervensi:
- auskultasi nadi apikal, kaji frekuensi, irama jantung
- catat bunyi jantung
- palpasi nadi perifer
- pantau status hemodinamik
- kaji adanya pucat dan sianosis
- pantau intake dan output cairan
- pantau tingkat kesadaran
- berikan oksigen tambahan
- berikan obat diuretik, vasodilator.
- Pantau pemeriksaan laboratorium.
4. Diagnosa: Kelebihan volume cairan b.d. meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium/air.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien mendemonstrasikan volume cairan seimbang
Kriteria hasil:
- masukan dan haluaran cairan dalam batas seimbang
- bunyi napas bersih
- status hemodinamik dalam batas normal
- berat badan stabil
- tidak ada edema
Intervensi:
- pantau / hitung haluaran dan masukan cairan setiap hari
- kaji adanya distensi vena jugularis
- ubah posisi
- auskultasi bunyi napas, cata adanya krekels, mengi
- pantau status hemodinamik
- berikan obat diuretik sesuai indikasi

0 komentar:

Posting Komentar