Sabtu, 16 Oktober 2010

biolaku tak berdawai

Biolaku tak berdawai
“ teng..teng…teng…” dari kejauhan terdengar bunyi bel yang sudah tidak asing lagi bagi kami, waktunya pulang, bukuku sudah rapi lebih dulu sebelum bel, jadi aku tinggal tunggu salam dari ustadz, dan langsung kekamar.

Kembali kurasakan takdir yang berjalan, walau kutahu tidak semua masalah mudah dihadapi, tapi sesulit apapun masalah yang kita hadapi, pasti ada jalan yang tak kita ketahui. Langkahku kupercepat karena hari mulai semakin memanas, aku langsung menuju irigasi tempat kami mencuci, mandi dan berwudhu. Aku menganmbil air wudhu bersama teman-temanku tuk pergi ke mesjid, sholat juhur berjamaah. Tak perlu kuatir terlambat karena kami sudah menjadi senior, di atas senior.

“eh ren, ente imam hari ini lho ?” Haris yang mengambil air wudhu di sebelahku berucap.

“astagfirullah, lupa ana “ aku menepuk jidat.

Sambil berlari menuju kamar, dengan secepat kilat aku mengganti celanaku dengan sarung, dan kemejaku dengan baju taqwa. Rapi, bagus tidak ada yang mengganjal, kusemprotkan parfum biar wangi dan bereslah sudah persiapan ku jadi imam hari ini.




“ ren, besok ke martapura yuk ?” ajak Haris yang tiba-tiba menghampiriku di depan mesjid. Seusai sholat.

“ hmm gimana ya,… ya insya allah deh, tapi nanti ijinnya bareng ya “.

“sip “ jawabnya dan berlalu pergi.

Ke martapura, sudah lama aku tidak jalan-jalan ke martapura, ke pasar, mampir ketempat teman yang rumahnya ada di martapura, sekaligus buat cuci mata, soalnya yang kulihat sehari-hari disini Cuma laki-laki saja, perempuan itu ibarat barang yang langka disini, bayangkan saat kau makan, yang ada hanya laki-laki, saat mandi, laki-laki, sampai disekolah pun yang ada hanya laki-laki, disekelilingku ini Cuma ada para laki-laki yang sama denganku. Perempuannya Cuma ada satu, acil dapur.

Aku berjalan langsung menuju dapur tuk makan siang, kulihat Haris memanggilku dari kejauhan, ditangannya sudah terpampang sepiring nasi penuh yang menggunung dan dua lauk. Aku tersenyum tipis lalu mendekatinya.

“ lauk apa ris ?”. tanyaku begitu di depannya.

“ ini patin, yuk kita makan di bawah pohon “ . di bawah pohon adalah tempat yang enak buat makan, walau tanpa meja, tanpa alas duduk, tapi sejuk dan terasa beda daripada makan di dalam dapur yang penuh dan pengap.

“ aduh patin itu lagi,” saat kulihat lauk yang dibawanya.

“kenapa ngga suka, biasanya juga kamu langsung makan aja “. Haris langsung memulai makan tanpa menungguku lebih dulu. Berdoa juga mungkin tidak.

“entahlah, hari ini aku merasa tidak selera makan, apalagi patin, aku pinginnya sih ayam goreng, atau apalah yang lebih enakan dikit “.

“ ah kamu ini, wain sakartum bro, besok juga kita kan ke martapura, kamu bebas milih deh mau makan apa, aku temenin “. Haris masih terus berucap tanpa menyadari nasi yang dikunyahnya pada berjatuhan dari mulutnya.

“terserahmu deh “ aku berjalan meninggalkannya, dari jauh aku mendengar Haris memanggil-manggil namaku, aku tidak peduli, kubilang tidak ya tidak, biar dia saja yang habiskan sendiri makanan dengan porsi dua orang itu. Mudahan cepat subur. Doaku.


Sunyi dan sepi begitu ku tiba dikamar, Karena semuanya sedang makan di dapur. Kuambil biola Muhlis yang diletakkannya di samping lemarinya, dan kebetulan lemarinya bersebelahan dengan lemariku. Kubuka perlahan dan kuambil sebuah alat musik yang menurutku paling sulit tuk diaminkan, biola, kutaruh perut biola di pundakku, jari-jari kiriku menekan senar atas, sedang tangan kananku memegang sebuah tongkat kecil penggesek biola. Kugesekkan tongkat kecil itu perlahan ke senar-senar biola, suara yang keluar tidak kalah dengan suara botol air minum yang diinjak-injak, saking sendunya.

“waduh, ada kucing berantem “ ucap Ali, baru datang udah nyindir.

“emangnya kamu bisa “ balasku. Kesal.

Teman-teman yang lain mulai berdatangan, dan segera kuhentikan bermain biolanya, siang ini jadwalnya istirahat, kalau tetap kumainkan, bisa-bisa malah aku yang dikeluarkan dari kamar.



Setelah melalui jalur yang berlama-lama, aku dan Haris akhirnya diijinkan juga tuk ke martapura hari ini. Persiapan sudah siap, mandi lengkap dengan berbagai produk kecantikan mandi, pakaian yang berbeda dari biasanya, lebih necis, dan uang yang banyak pastinya. Sayangkan kalau hari ini dilewatkan begitu saja.

Perjalanan bermula dari menumpang tamu yang sedang berkunjung, di depan kami melanjutkan perjalanan dengan naik taksi yang langsung menuju martapura. Sampai di martapura aku langsung menuju warung nasi sop. Dan memesan satu buah paha ayam khusus, sedangkan Haris hanya minum teh es manis, hmm, sedap, apalagi sudah satu bulan aku tidak makan-makan yang enak dan kenyang. Selesai makan Haris mengajakku ke dalam tempat biasa anak pesantren, tempat playstation, dua jam penuh kami bermain, menghilangkan pikiran-pikiran yang sering membelenggu kami ketika di pondok. Kadang aku berpikir bermain PS ini Cuma membuang waktu, tapi kadang permainan ini bagus untuk merangsang otak, tapi merusak mata.

“ istirahat dulu ren “ Haris duduk lebih dulu di tangga pusat pasar.

Aku ingin mengikuti Haris, tapi pandanganku saat itu tertuju pada seorang gadis penjual klalapon, makanan khas martapura. Lihatlah…wajahnya cantik jelita. Dia menyibakkan kerudungnya perlahan dan melayani para pembeli. Tapi tatapanku saat itu hanya tertuju padanya, pada gadis itu.

“ lihat apa ren ? “ Haris menengok kearah gadis itu, tapi segera kucegah,” ngga ada apa-apa kok ?”.

“ hmm, kamu menatap gadis itu ya dari tadi “.

“ah ngga “. Aku berdalih.

“owh, ya sudah jiarah yuk, mumpung disini, “

Aku dan Haris berjalan menuju mushola tempat ziarah, kami melewati gadis itu, kutatap gadis itu lekat-lekat, ingin ku tersenyum ke arahnya, tapi sayang, dia bahkan tidak menatap ke arahku. Kami tiba di makamnya al mukaram K.H Zaini ghani, atau biasa disebut guru ijai. Setelah sholat dzuhur kami langsung jiarah dan istirahat di dalam.

Tak terasa hari sudah mulai sore. Aku dan Haris pun bersiap pulang ke pondok, seperti datang, kami ke pondok juga naik taksi, lalu berhenti sebentar di depan tuk membeli lalapan, jarang kan aku bisa makan yang begini jadi sehari harus dua kali. Haris juga memesan satu. Setelah dirasa kenyang kami langsung berangkat dengan naik ojek.



Sudah jam satu malam, tapi aku tetap saja tidak tidur, badanku sudah kurebahkan berkali-kali kucoba memejamkan mataku, tapi tetap saja aku tidak bisa tidur. Suara dengkuran santri, rintikan binatang malam semua terdengar begitu jelas, tapi ada sesuatu yang terus membayangiku, gadis penjual klalapon itu. Ah kenapa aku terus memikirkannya.

Besoknya…

“kamu kenapa ren, kok lesu gitu ?” Tanya Haris saat makan siang.

“aku juga ngga tahu ris “. Aku mengunyah makanan.

“kamu sakit ya ?, dari pagi tadi sampai sekarang, kulihat murung banget “.

“ntar deh kuceritain, selesai makan ya…? “.

Haris mengangguk pelan. Aku meninggalkannya lebih dulu, perutku terasa seolah sudah kenyang dan penuh terisi. Tapi bukan oleh nasi, oleh sesuatu yang lain. Sampai dikamar keadaan sepi seperti biasa, kuambil biola Muhlis kuletakkan perlahan, dan kucoba mulai memainkannya. Aku terdiam sejenak setelah memainkannya, apa aku tidak salah dengar, kucoba lagi memainkan biola itu, dan benar, memang benar baru kali ini suara biolaku mulai memerdu. Aku tidak tahu kenapa, apa hanya aku yang salah dengar, menurutku tidak, soalnya ketika Haris dan teman-teman lainnya datang, mereka tidak menghina lagi, tapi kali Ini beda, mereka seolah tersihir oleh kemerduan dari suara biola yang sedang kumainkan.

“ wuih ada perubahan nih “ kata Ali yang biasa berkata menyindir.

Muhlis sang pemilik, biola hanya diam saja menatapku, bibirnya tersenyum, entah apa yang dipikirkannya, yang jelas suara biola yang kumainkan tadi bukan suara compreng seperti biasanya, tapi suara merdu pemain biola asli.

Tak lama setalah itu kuhentikan bioanya berbunyi, karena teman-temanku saat ini mulai mau istirahat, Suasana langsung menghening seketika, panasnya matahari tidak begitu terasa, awan-awan putih melindungi dan menyejukkan udara, sepoi-sepoi angin berhembus memasuki ruangan, debu-debu berterbangan, yang terdengar hanya suara kresekan buku yang sedang kubalik.

“katanya mau cerita,… apa ?”. Haris mendekatiku.

Aku menutup buku yang sedang kubaca, menurutku memang benar, aku harus mengutarakan isi hatiku ini, aku tidak boleh menyimpannya sendiri. “ ris kamu ingat ngga gadis yang di martapura kemarin ?”.

Haris menganngguk.
“nah sepertinya gadis itu yang saat ini menjadi pikiranku, aku tidak tahu juga sih benar atau tidak, tapi sejak tadi malam aku sama sekali tidak bisa tidur, setiap kali kupejamkan mata yang terbayang hanyalah wajahnya, saat terbangun yang terbayang juga wajahnya, padahal aku sendiri tidak tahu siapa dia”.

“ owh begitu “ Haris tersenyum menggoda “ ada yang sedang jatuh cinta nih”.

“ah kamu ini,” aku membuka bukuku kembali “ tapi jangan bilang siapa-siapa ya “.



Minggu berikutnya aku langsung ke martapura tanpa ijn kepada pengasuhan, walau kutahu konsekuensinya, tapi tidak apa-apa. Dengan persediaan uang yang semakin menipis, aku berangkat secara diam-diam. Sendiri. Demi suatu hal yang tak pasti.

Tiba di sana nanti aku akan ke tempat gadis itu sebentar, beli macam-macam, lalu nanya namanya, dan sedikit perkenalan dan seterusnya, jadi aku tidak akan ketahuan. Tapi rencana yang sudah disususn rapi kadang tidak sesuai dengan kenyataan, tiba disana gadis itu tidak ada, jangankan gadisnya, warungnya saja belum buka, hanya sedikit saja aktifitas yang terlihat pagi ini, aku terlalu bersemangat jadi datangnya kepagian.

Sementara menunggu aku keliling pasar sebentar, melihat-lihat benda-benda unik yang dijual di daerah pertokoan yang lebih elit, kulihat sebilah pedang jepang, yang biasa disebut samurai, aku tertarik maka kucoba lihat dari dekat.

“mau beli apa nak ?” Tanya sang penjaga mendekatiku.

“ ah ngga mau liat-liat aja pak “.

“yang ini “ bapak itu mengambil salah satu samurai itu dan memberikannya padaku. Dan kuambil dengan perlahan, kukeluarkan pedang itu dari sarungnya. Mengkilat putih, tapi tidak seperti samurai asli yang ketajamannya bisa membelah besi. Seolah bisa membaca pikiranku, paman pemilik toko itu mengambil sebuah pisau kecil biasa, kuperhatikan tangannya memperlihatkan pisau itu yang hendak memotong sebuah kertas putih dan sre…k kertas itu terpotong cepat dan rapi. Aku melotot.

“ kamu tahu tidak anakku, pedang, pisau dan senjata lainnya memang terlihat biasa-biasa saja ditangan orang yang biasa, tapi mereka akan berubah menjadi senjata yang sangat mematikan jika dipegang oleh orang yang memiliki hasrat dan jiwa yang dimiliki oleh pedang itu, dan kadang pedang itu sendiri yang memilih majikannya “.

Aku manggut-manggut, mungkin maksud paman ini beliau bukan hanya seorang penjual biasa, tapi juga seorang yang memiliki hasrat dan jiwa yang dijualnnya. Jadi walaupun ada orang yang mau merampok toko ini, paman itu sudah tidak kuatir lagi. Aku meletakkan pedang itu dan permisi.

Aku kembali ketempat gadis itu, dia sudah ada, tapi masih melayani beberapa pembeli, ingin sih aku mendekati pembeli itu, tapi yang sedang membeli saat itu adalah salah satu ustadz pengasuhan, ustadz jupri yang terkenal galaknya. Aku mengundurkan diri sejenak dan berAlih ke lain tempat. Demi keselamatan rambutku.

Setelah agak siangan dikit aku kembali ketempat itu, kosong dan kesempatan berharga, aku mendekati gadis itu dan sedikit percakapan pun kumulai.

“permisi saya mau beli klalaponnya “ kataku pasti tapi hatiku saat ini tidak karuan detaknya.

“maaf mas, sudah habis “ jawabnya lembut dengan sesungging senyuman yang sungguh menggoda. Karena tidak sadar aku terus melanjutkan percakapan.

“saya beli dua, satu berapa ya ?”.]

Gadis itu menatapku sambil tertawa kecil “ maaf mas sudah habis “

“owh habis toh “ aku menggaruk-garuk kepala, menunduk, membuang malu, baru sadar setelah dua kali diucapkan. Aku pun permisi dan skenario yang sudah kurangkai hari ini hanya berhasil sebagian. Aku kembali ke pesantren dengan perasaan galau. Tiba di sana aku langsung disambut oleh Haris yang sedang mencuci dengan tatapan curiganya, karena aku datang dari jalan rahasia yang kami bikin.

“ ehm mulai dah, berkorban demi cinta nie teman ane” Haris terkekeh “ giimana tadi, udah mulai kenalan “.

“ kalau kenalan sih belum, tapi tadi sempat bicara sebentar “ entah kenapa saat ini aku mulai suka berbagi, padahal aku sangat tidak suka dengan yang namanya curhat.

“ itu ngga apa-apa my friend, yang namanya cinta itu tidak boleh tergesa-gesa, harus santai dan perlahan, biarkan cinta itu mengalir… “ Haris seperti seorang pujangga, padahal sedang mencuci baju, jadi ingin tertawa aku melihatnya.



Minggu berikutnya kali ini aku mencoba ijin dengan alasan yang bermacam-macam akhirnya diperbolehkan, dan katanya Haris juga ingin ikut menemaniku. Jadi senang juga sih ada teman buat ngobrol.

Skenario kali ini nampaknya berjalan mulus, gadis itu sendirian sedang menunggu pelanggan, takdir seolah berpihak padaku hari ini. Aku dan Haris langsung menuju tempat tujuan.

“mau beli apa mas ?” sesungging senyumnya menytambutku.

“ ini dua, ini…ini…” aku menunjuk kearah kue-kue yang dijualnya, pandanganku beralih menatapnya yang dengan perlahan mengambilkan kue yang kutunjuk, kulihat wajahya dari balik kerudung dan langsung kutundukkan ketika dia menatapku.

Haris menyikut-nyikutku, memberikan isyarat supaya aku menanyakan namanya, inginnya sih begitu dari tadi, tapi lidah ini seolah kelu dan kata-katanya pun membeku di ujung lidah.

“ namanya siapa mbak ?” Haris bertanya tanpa kuminta. Aku menatapnya, dibalasnya dengan senyuman menjengkelkan.

Gadis itu tersenyum kemudian menjawab “ nama saya latifah, tapi biasa dipanggil ifa”.

Owh namanya latifah to, “saya rendi “ ucapku tanpa sadar, padahal tidak ditanya.

Dia tersenyum dan menatapku sebentar“ ini mas pesanannya “ dia menyodorkan bungkusan hitam berupa kue yang kami pesan.

“berapa ?” aku mengambil uang dari kantong celana.

“semuanya pas lima ribu “

Uang lima ribuan pas langsung kusodorkan, setelah berijab qabul aku dan Haris beranjak dari situ. Di jalan galau hatiku rasanya sudah mulai berbeda, mendapatkan senyuman dan mengetahui namanya sangatlah indah menurutku yang tak pernah pacaran ini, itu pun lebih dari cukup. Aku dan Haris berjalan ke tugu martapura, di bawah sana kami makan makanan yang tadi kami beli, dengan sebotol coca cola aku mengunyah kue-kue itu perlahan sambil terus memikirkan latifah, gadis yang telah mencuri hatiku. Dari bawah tugu aku masih dapat melihatnya berjualan tapi tidak terlalu jelas, bagiku yang sedang dilanda asrmara ini nyamuk yang menggigitnya pun terlihat.



“ besok kamu mau ke martapura lagi ya ren ?”. Haris bertanya di depan makshop (kantin) pesantren.

Sambil terus menyeruput minuman dingin aku menjawab pertanyaan Haris dengan anggukan kecil. Ya . selama seminggu ini aku sudah menyusun rencana yang terbaik, walau tidak semua rencana akan berjalan mulus, tapi tidak ada salahnya mencoba.

Sambil ngemil kami ngobrol dan larut dalam obrolan dan candaan yang menghilangkan stress. Angin malam bertiup di sela-sela kawat yang mengelilingi warung, suara ramai para santri di dalam terus terdengar, walau malam sudah hampir larut, tapi sebagian dari para santri ada yang tetap berjaga, ilmu adalah kewajiban yang dituntut disini. Dari arah kejauhan suara biola merdu yang dimainkan Muhlis terdengar sampai sini. Melihatnya memainkan biola dalam kegelapan, menurutku dialah sang maestro yang akan berada di puncak suatu saat nanti.



Hari ini aku tidak melihat gadis itu, kemana dia apa dia sakit, aku bertanya-tanya sendiri, khawatri dengan keadaan seseorang yang bahkan tidak mengenalku, mungkin. Kutuggu gadis itu mulai pagi hingga sore tak kunjung datang, ada rasa khawatir yang menyesakkan dadaku, inginku menjenguknya, tapi alamatnya pun aku tidak tahu. Pasrah aku pun pulang ke pondok. Dengan perasaan galau. Sampai di pondok aku langsung merebahkan diri di dekat irigasi, pikiranku melayang jauh. Kudengar suara lonceng mandi mulai berbunyi, teman-temanku mulai berdatangan, menganti baju dan menceburkan diri ke irigasi, berenang, bercanda, sudah menjadi aktifitas kami sehari-hari, walau sudah besar, tapi pikiran kami masih kanak-kanak, tapi kadang juga dewasa, ada saat-saat yang tepat buat seperti itu.

“ ada masalah apa lagi ?” Haris menghampiriku, seolah bisa membaca raut mukaku yang sedang kusut, badannya basah habis menceburkan diri.

“ laba’sa “ . (tidak apa-apa).

Haris menjauh ke atas, dan tak lama setelah itu teman-temanku pada mendatangiku, perasaan ku sedang tidak enak, benar, mereka memegangi ku dan langsung menceburkan ku “byur….’ Aku tercebur, dan basah, padahal aku belum ganti baju, dan parahnya lagi aku tidak membawa pakaian ganti. Aku tersenyum kesal, melihat semua teman-temanku menertawakanku dari atas, pasti rencana Haris, pikirku karena dia sudah hilang.


“ eh ren aku ada berita bagus nih “ Haris membisikiku, saat jam tidur malam.

“ apa “ aku malas. Kulihat teman-teman lainnya sudah mulai pulas, tingal kami berdua.

“ latifah itu sepupunya Ali, dan rumahnya…”

“yang benar ris… “ aku memotong pembicaraan Haris dengan suara keras.

“ ssstt…” Haris menaruh telunjuknya di depan mulut ku. “ iya, tapi jangan ribut “.

Aku mengangguk.

“ tadi sore aku tidak sengaja melihatnya fotonya di lemari Ali, aku yakin sekAli itu dia, latifah, setelah itu, aku langusng bertanya pada Ali, dia itu siapanya, katanya sih sepupunya yang tinggal di martapura ini dan Haris akan kerumahnya minggu ini karena ada acara, aku tidak tahu acara apa, yang jelas, Ali tahu rumahnhya litifah “.

Aku tak bergeming, ini kesempatan emasku, aku tak boleh menyia-nyiakan kesampatan ini. Ternyata tuhan memang memihak padaku, kepada cinta, kepada hati itu.



Setiap hari aku mendekati Ali, berharap semoga minggu ini aku diajaknya ke rumah sepupunya itu, si latifah dan berkata” ohw kau kan…., wah kebetualn sekali…, wah memamg jodoh kali ya…” ke mana Ali pergi aku ikuti, aku seperti anak buahnya selama seminggu ini, tapi usaha itu ternyata membuahkan hasil yang setimpal, Ali dan keluarganya bersedia membawaku dan Haris. Aku senang bukan kepalang, akan jadi apakah hari ini, Haris awalnya menolak dan cukup sulit tuk membujuknya sampai dia mau, karena sulit sekali kalau aku cuma sendiri bisa jadi obat nyamuk.

Ikut mobil kijangnya bapak Ali memang nyaman, aku dan Haris duduk pAling belakang, tapi ini sudah membuatku senang, bukan masalah gratisnya sampai tujuan, tapi tujuannya yang akan dituju itu yang membuatku tidak sabar, selama perjalanan dadaku berdegup-degup, aku tidak tahu apa Haris mendengarnya atau tidak, yang jelas aku sendiri tidak bisa mengatur diriku antara senang, gugup, bahagia, dan penasaran menyatu dalam hati yang tak tentu.

Mobil berhenti, satu persatu kami mulai turun, suasananya tidak seperti yang kukira, ternyata disini sedang ada walimatul ursy, aku mengikuti Ali dari belakang, kulihat si dayang bukan dia, kulihat si penyaji makanan juga tidak ada, dimana dia, aku terus mencari-cari. Ali menegurku yang seperti anak ayam kehilangan induknya. Kenapa tidak ada,aku memicingkan mata kearah Haris, Haris mengangkat bahunya.

“ ayo kedalam, latifahnya ada di dalam “ Ali berjalan lebih dulu.

Tanpa menunggu lagi aku langsung mengikuti Ali, kami masuk ke dalam kulihat banyak sekali orang, aku melihat-lihat dimana dia, aku bertanya pada Ali, dia menunjuk kearah pelaminan, kearah seorang perempuan yang wajahya saat ini tertutup, aku tidak percaya masa dia yang… Ali langusng menarikku ke pelaminan dan menemui sang pengantin perempuan, alangkah terkejutnya aku ketika melihat sang pengantin.

“ ah mas rendi, makasih ya udah datang, doanya “.

“ i…iya…” air mataku hampir terjatuh, tapi kutahan.

Aku langsung keluar dan menemui Haris yang sedang duduk sendiri, aku langsung mengajaknya pulang, setelah berpamitan kepada kelarga Ali kami langsung melesat, dadaku Terasa sesak sekali, ingin rasanya ku pecah diri ini, Haris yang tidak mengetahui apa-apa terus bertanya, aku tidak menjawab. Sampai di kamar aku langsung disambut Muhlis dengan permainan biolanya yang begitu menusuk sendiku, air mataku meleleh di pipi, perlahan berjatuhan, Haris langsung mendekatiku dan menepuk-nepuk pundakku.

“ kawan biola itu akan terdengar merdu seandainya dimainkan oleh sang pemilik jiwa musik “. Kata-kata Muhlis persis kata-kata paman penjual samurai itu, sekarang aku mengerti apa yang mereka maksudkan, aku mengerti dalam linangan air mata yang terus mengalir. Dan penyesalan yang dalam.

Alhamdulillah…

Selesai tanggal 17-08-2010

0 komentar:

Posting Komentar