Selasa, 01 Februari 2011

surat kematian

Surat kematian…
SURAT ITU sudah dua hari terletak di meja Pak Slamet, sudah dua hari tak terbaca dan tak tersentuh sama sekali, surat itu berada di tumpukan yang berbeda dari surat-surat lainnya, dengan amplop yang berwarna merah, tanpa perangko, tanpa pengirim dan tanpa inisial yang jelas. Surat-surat lainnya pun begitu, surat rakyat atau suara rakyat, yang hanya di taruh di meja dan di buang setelah lama di atas meja tanpa di baca sedikitpun.
    Di depan meja Pak Slamet bertuliskan “ untuk rakyat “ yang ternyata hasilnya “ semua milik rakyat untuk dirinya “, slogan-slogan yang sering ditemui orang di setiap meja wakil rakyat, tapi dengan kenyataan yang tak merakyat.
    Hidup sekehendak perutnya, Pak Slamet memilintir-milintir kumisnya sambil memegang perutnya yang buncit, sepiring mie goreng telah habis disantapnya, sebuah minuman dingin ditenggaknya dengan cepat, habis.
    Seorang pelayan memasuki ruangannya dan membereskan semua yang telah di telannya, dengan sabar dan patuh kepada bos yang dia tahu memiliki sifat bukan manusia ini. Tapi kalau tidak begini bagaimana dia akan membiayai hidupnya, apakah ini yang disebut keadilan, apakah ini diperbolehkan, semua itu kini menjadi pertanyaan yang basi di jaman yang serba sulit dan kejam ini, jangankan yang halal, yang haram saja sulit di cari.
    “ eh Hasan, setelah ini bawakan saya bakwan goreng ya !” sebuah perintah langsung yang tak bisa ditolak.
    Hasan mengangguk, dan beranjak pergi.
    Pak Slamet kembali mengutak-atik laptopnya yang pastinya dari uang rakyat, kalau ditanya sedang apa, jawabannya sudah pasti, mengurus dokumen rakyat. Dokumen rakyat memang terlerletak persis di depan wajahnya, sebuah symbol yang berarti dia bekerja unutk rakyat, dan semua untuk rakyat.
    Dalam dua hari ini, baPak Slamet sendiri kadang bingung dengan sebuah surat yang lain dari surat-surat lainnya itu, ingin segera dia buang surat itu tapi kadang ada rasa untuk tidak membuang surat itu segera, dilihatnya tumpukan surat yang sudah dua hari menggunung itu bekas dia tumpukkan, biasa, tidak ada yang aneh baginya.
    Pintu terbuka, Hasan masuk membawa bakwan goreng yang dia pesan, Hasan masuk perlahan sambil menatap muka Pak Slamet, dan segera dia alihkan pandangannya dari wajah orang yang selama ini menjadi bosnya, ada perasaan kecewa dan benci ketika melihat wajah seseorang yang disebut bosnya itu, dan suka seenaknya menyuruh-nyuruhnya.
    “ san, setelah ini, buang semua tumpukan surat ini “. Pak Slamet segera memakan salah satu bakwan yang bahkan belum ditaruh Hasan.
    Hasan mengangguk, diambilnya sebuah kantong plastik hitam besar. Ini lah yang tidak dia suka, dan hanya dia yang tahu tentang hal ini, apa boleh buat, dia hanya bisa marah-marah sendiri ketika melakukan hal itu, menyesal, dan tidak berani melaporkan kebatilan, itulah penyesalannya, hanya menatap dengan benci yang dia bisa.
    “ yang merah ini ya juga “ ucap Pak Slamet, makanan di mutlutnya terus beradu dengan gigi gerahamnya.
    Hasan menurut, kembali dia ambil surat itu dan ditaruhnya di dalam kantong plastik bersama tumpukan surat lainnya.


    Besaoknya Pak Slamet kembali terkejut dengan kehadiran surat merah yang kini ada di atas mejanya. Pak Slamet mendengus kesal. Siapa orang yang suka sekali mengiriminya surat ini, dia lihat surat itu lekat-lekat, tidak ada nama sang pengirim, bahkan perangkonya pun tidak ada, bagaimana bisa terkirim. Pak Slamet meremuk surat itu tanpa dia buka dan langsung di buang ke tempat sampah.
   
    Besoknya
    Kembali surat itu hadir di meja Pak Slamet, saking kesalnya ingin dia makan surat itu, tapi saat dia lihat kali ini ada sedikit berbeda, ada nama pengirimnya, Pak Slamet tak sabar, dia lihat nama pengirim itu dengan perasaan dan niat ingin segera melabrak orang yang suka sekali mengirimi surat ini, dia lihat nama sang pengirim “ malaikat maut “.
    Pak Slamet terkejut bukan kepalang, dia tersentak dan mudur secara reflex tiga langkah ke belakang sampai terjungkal karena menabrak kursinya, dan surat itu terlempar ke lantai. Wajah Pak Slamet pucat, bibirnya bergetar, tangannya gemetar, kakinya pun sampai tak mampu berdiri.
    Hasan yang mengantarkan minuman kaget ketika melihat Pak Slamet terjungkal, segera dia raih Pak Slamet dan membantunya berdiri, di panggil-panggilnya Pak Slamet, tak sadar, ditepuk-tepuknya wajah Pak Slamet, tetap tak sadar. Di saat kritis begitu, Hasan langsung meminumkan mimuman yang tadi dia bawa.
    “ brush..” air terciprat dari mulut Pak Slamet. baru dia mulai bisa menenangkan dirinya, napasnya kini satu, satu pelan, dan memelan dia mulai sadarkan diri, dilihatnya Hasan yang heran di hadapannya, segera diraihnya cangkir berisi air, diminum dan keadaan mulai menenang.
    “ kenapa pak ?” Tanya Hasan sambil melap bajunya yang kena air cipratan Pak Slamet.
    “ surat itu….surat itu…san…cepat buang…surat itu….” Suara Pak Slamet terbata-bata dan sangat bergetar di setiap kalimat yang diucapkannya, wajahnya yang pucat tadi sempat reda, kini mulai memucat kembali.
    Hasan menurut dia memungut surat merah itu dan segera pergi keluar, barulah Pak Slamet bisa tenang, seolah baru saja dia diberitahu sang malaikat itu sendiri yang akan datang. Walau keadaan sempat tenang, tapi tetap saja, hatinya gundah, penuh pikiran yang diselimuti bergbagai masalah yang kian terpekik, satu per satu masalah yang dulu mulai terkuak di pikirannya.
    Sebuah surat kadang memang menentukan, apa isinya, berita baik, berita buruk, atau hanya sekedar kabar tak berguna, Pak Slamet sendiri tak tahu mengapa dia menjadi begitu kaget setelah menerima surat itu. Apa ada yang salah pada surat itu, apa yang berbeda, hanya pengirimnya, mungkin juga hanya orang iseng, apakah mungkin malaikat mengirimkan surat, dan memberitahu kematian seseorang lebih dulu. Sangat tidak wajar, tapi kenapa Pak Slamet begitu takut pada sebuah benda yang tak berujung, tak berasal dan tak jelas sama sekali itu.

    Pak Slamet terpilih menjadi seorang wakil rakyat di daerah tempat tinggalnya, senyum bahagia, bangga terus bersemi di wajahnya yang dulu, setiap berjumpa dengan orang senyum selalu menjadi andalan. Salam dan sapa tidaklah lupa, tapi apa yang terjadi saat pemilihan terjadi dan dirinya terpilih menjadi. Keadaan berubah seratus delapanpuluh derajat. Senyum yang selalu mengambang di bibirnya itu kini berubah menjadi senyum angkuh dan hinaan kepada setiap orang yang dia temui. Tak jarang dia juga seenaknya memaki orang tua yang berjalan tanpa permisi di depanya.
    Semua orang di daerah situ yang dulu senang berkawan dengannya kini benci seribu rupa, bagi mereka wajah Pak Slamet tak lebih dari seekor iblis yang menjelma menjadi manusia.
    Korupsi uang rakyat sudah pasti terjadi, dan kejadian yang paling memilukan adalah saat pembelian sebuah tanah dan sawah, tanpa memikirkan sang pemilik, Pak Slamet memaksanya tuk menjual murah, tanpa ampun, dia akan menyiksa kalau menolak. Kejadian yang paling memilukan itu terjadi pada keluarga Pak Suraja, keluarga yang malang ini tak dapat bertahan lagi, mereka tewas di bunuh oleh pesuruhnya Pak Slamet, dan hanya satu yang hidup anak mereka yang masih remaja, berusia lima belas tahun, dia berhasil dilarikan ayahnya ke tempat persembuyian yang tenang.

    Kembali surat merah itu hadir, Pak Slamet kalap, dilihatnya kali ini sang pengirim punya nama dan alamat, tapi dia tambah merinding ketika membaca sang pengirim dan alamatnya “ pak suraja, “ dan dari tempat dia dibantai dulu.
    Pak amir berteriak-teriak sendiri seperti orang gila di dalam ruangannya, teman-teman sekantornya pada berdatangan melihat pak amir yang kalap dan berteriak-teriak sendiri. Beberapa memegangi pak amir tapi tak berhasil, badan mereka kalah besar, dengan mudahnya Pak Slamet membanting mereka.
    Salah seorang dari mereka menyiram pak amir dengan se ember air, tapi tetap, tetap Pak Slamet tidak sadar, dia tambah semakin menjadi-jadi gilanya, dia berloncat keluar lewat jendela di dibelakangnya. Para pegawai lain ikut mengejarnya.di jalan Pak Slamet menjadi tontonan, tak ada orang yang mau menolongnya, mereka hanya melihat dengan benci, inilah hukumanmu. Caci mereka sepanjang jalan.
     Pak Slamet memegangi kepalanya, matanya memutih, dan tanpa sadar dia berlari ke arah sebuah mobil yang sedang melaju di persimpangan jalan dan…
    “ bruk…” tubuh Pak Slamet terbentur keras, tubuhnya terpental jauh sawah milik warga kampung tersebut, darah terus bercucuran dari mulutnya, napasnya sepenggal-sepenggal dan hilang, Pak Slamet meinggal dengan mata yang masih melotot.
Dari kejauhan Nampak Hasan memegang surat merah yang selama ini menghantui Pak Slamet, dari kejauhan dia berucap “ semua sudah berakhir ayah, kematianmu sudah terbalaskan”…                                                                                                                                                                         Alhamdulillah selesai…04-09-2010…(sore)

0 komentar:

Posting Komentar