Selasa, 01 Februari 2011

surga buat istriku

Surga buat istriku
Lampu jalanan menyinari Pak Amir yang baru pulang dari mesjid, jalanan kampung tempat tinggalnya sudah mulai gelap, hampir tidak ada suara yang terdengar, kresekan langkah Pak Amir terus berlalu, suara-suara binatang malam terus beradu bertasbih menyebut asma ilahi. Getir jiwa Pak Amir terus mengagungkan asma allah semenjak dari mesjid, jiwa yang selalu bersyukur dan tidak pernah kufur akan nikmat yang diberikan yang maha kuasa, jiwa yang selalu tenang bagai air yang mengalir, walau hidupnya semakin hari semakin sulit, tapi jiwanya semakin hari semakin tenang.
    “ assalamualaikum “ ucap Pak Amir ketika sampai rumah.
    “walaikum salam, sudah pulang toh pak… “ istrinya, Ibu Raudah menyambut dengan sebuah senyuman, sambil merapikan mukena yang baru dipakainya.
    “makan apa kita malam ini bu “.
    “ Cuma ada daun singkong ini pak “.
    “ jangan bilang Cuma dong bu, alhamdlillah kita masih bisa makan malam ini “ Pak Amir tersenyum, sang istri balas tersenyum kecil. Mereka berdua berjalan menuju dapur yang ada di ruang tengah, dapur sebagai tempat masak, makan juga tidur, karena rumah yang mereka diami hanya memiliki dua ruangan, satu untuk tamu, dan satunya lagi ruangan utama. Mereka makan daun singkong dengan lahap, Nampak pak amir sangat menikmati rejeki yang diperolehnya hari ini. Sang istri pun turut bahagia dikala suaminya senang.
    “ kapan ya pak, kita bisa hidup berkecukupan “ ucap sang istri pilu.
    “ ibu…dengan yang sedikit ini saja kita tidak bersyukur, bagaimana mau ditambah, ini saja sudah lebih dari cukup bu, napas, sehat, tempat bernaung dan lainya bu, terlalu banyak nikmat allah yang tidak bisa bapak sebut “.
     Ibu Raudah tertunduk malu.
    Malam cepat berlalu, menyaksikan kedua pasangan suami istri ini yang sudah mulai mencoba tuk terlelap,  alunan syair yang terus berganti tiap malam, kehidupan yang tak pernah kenal menyerah. Berganti hari demi hari, mengisi kekosongan hati dan jiwa yang terus menangis dan mengemis kasih kepada allah. Kepada setiap jiwa yang diberinya petunjuk dan kepada hati yang selalu merindukan keagungannya.
    Pak Amir terbangun di tengah malam sesuai kebiasaannya, di tengah dinginnya udara malam dia mengambil air tuk berwudhu. Lalu mengganti pakaian dengan pakaian sholat dan sholat  malam, dalam rintihan yang tidak dia sangka di dengar istrinya.
    “ ya allah tempatkan lah hamba, beserta istri hamba disisimu kelak ya allah, istri hamba adalah istri yang penyayang dan tabah serta setia kepada suami, ampuni dosa-dosanya ya allah, hanya kepadamu hamba bersyujud hanya kepadamu hamba memohon ampun…” Pak Amir terus menangis tiada henti.
    Ibu Raudah mengaminkan dengan berlinangan air mata dari kejauhan.


    Pagi datang, sesudah sholat subuh Pak Amir bersiap tuk kembali bekerja, pekerjaannya menjual alat-alat kebersihan rumah, hanya itu yang bisa dia lakukan, jangankan ijasah, nama sekolah saja baginya hanyalah sebuah kenangan, sedangkan istirinya adalah seorang tukang cuci yang sering mencucikan pakaian para tetangga dengan upah seadanya. Mereka hanya hidup berdua, tanpa seorang anak. Dulu mereka pernah memiliki seorang anak yang kemudian meninggal ketika berumur sepuluh tahun.
    Pak Amir keliling membawa gerobaknya mengelilingi kampung demi kampung, mencari pembeli mengharap rejeki dari ilahi. Menginjak kerikil-kerikil yang kadang menusuk kulit kakinya, dijalan dia melihat sebuah pecahan kaca yang menghalangi jalan, Pak Amir berhenti dan memungut kaca itu kemudian membuangnya di tempat yan jauh dari jalan, dan kembali menarik gerobaknya. Peluh membanjiri wajahnya, tak ada pelanggan satu pun lagi dia dapat. Pak Amir berisitirahat sebentar dibawah pohon, diletakkannya gerobak itu di dekatnya dan mengambil air mineral dalam botol yang dibawanya dari rumah.
    “ boleh saya minta air pak “ seorang anak muda muncul dari samping Pak Amir dan mengejutkannya.
    Pak Amir mengangguk dan memberikan botol minuman itu kepada sang pemuda. Pemuda itu kemudian duduk disamping Pak Amir. Dan mengembalikan botol itu setelah merasa lepas dari kehausan.
    “ siapa ananda ini, nampaknya bukan orang sini “ Tanya Pak Amir lebih dulu.
    “ saya Hasan pak, saya memang bukan orang sini, dan saya juga tidak mengetahui tempat ini, saya tersesat “.
    “ jadi nak Hasan tidak tahu mau kemana, dan tidak ada tempat buat bernaung “
     Hasan mengangguk.
    “ ya sudah kamu ikut saya saja ya kerumah, tapi sebelum itu kamu bantu saya dulu ya menjual dagangan ini “.
    Hasan menatap Pak Amir seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya, pertemuan pertama langsung dapat mempercayai, Hasan tersenyum kemudian mengangguk. Dan mereka pun kembali keliling sambil berjualan

    “ siapa dia pak ?” Tanya Ibu Raudah.
    “ dia itu tersesat, bu, jadi bapak ajak saja dia menginap disini, kasihan kalau dia nanti tidur diluar “.
    Ibu Raudah mengangguk dan tersenyum kearah Hasan. Hasan membalas dengan senyuman yang sama.
    Pak Amir langsung memberikan penghasilannya hari yang tidak seberapa kepada istrinya, sang istri menerimanya dengan ihklas, walau terkadang ada kata penyesalan tapi hari demi hari Ibu Raudah mulai sadar dan tidak mengeluhkan tentang kehidupannya lagi. Sementara dia sendiri hanya mendapat sedikit penghasilan hari ini. Dilihatnya Pak Amir yang sedang beristirahat di depan rumah bersama Hasan, Nampak mereka berdua sedang bercakap-cakap. Dan tak lama Pak Amir pamit kepada istrinya tuk sholat ashar, bersama Hasan.

    Sudah dua hari Hasan tinggal di rumahnya Pak Amir, kadang dia merasa kasihan melihat kondisi keluarga ini yang hidup dibawah garis kemiskinan, tapi ada sedikit bangga dari hatinya, karena keluarga ini tidak pernah meminta bantuan, atau mengemis-ngemis kepada orang lain. Walau kadang harus berhutang makanan ke warung dan setelah mendapat hinaan dari sang pemilik barulah mereka bisa makan nasi. Hasan tidak ingin berlama-lama lagi disini. kadang dia juga ikut membantu Pak Amir, tapi tetap saja hasilnya tak seberapa. Dan malam itu ketika dia melihat Pak Amir dan Ibu Raudah duduk di luar sambil membincangkan sesuatu Hasan menemui mereka.
    “ owh Hasan ayo duduk sini nak “ ajak Pak Amir.
    “iya pak,” Hasan duduk “anu pak sebenarnya saya besok ingin pulang “
    “lho kok pulang, ngga betah ya disini ?”.
    “ bukan begitu pak, saya sudah dua hari disini, dan saya tidak ingin merepotkan bapak sama ibu lagi “
    “ ah ngga, kami biasa saja, malah kami senang, memangnya kamu tahu kalau mau pulang jalan mana ?”
    “ya saya juga tidak tahu pak, tapi saya minta dianterin sampai jalan raya, setelah itu nanti biar saya sendiri yang pergi “.
    Pak Amir dan Ibu Raudah saling berpandangan, Hasan menatap mereka berdua seolah ada rasa penyesalan.
    “ kalau kamu sudah yakin, baiklah besok bapak antar ya, kapan kamu berangkatnya?”
    “ pagi pak “
    Pak Amir mengangguk.

    Esoknya…
    Pak Amir mengantarkan Hasan ke jalan raya, setalah pamitan pada Ibu Raudah dan mencium tangan ibu itu sejak rumah. Kini Hasan tinggal menunggu taksi atau angkutan lain buat menumpang, setelah itu dia akan pulang ke rumahnya. Sebuah taksi mampir, setelah salaman dengan Pak Amir dia langsung naik taksi, air matanya melelah meninggalkan keluarga itu, keluarga yang sudah dia anggap lebih dari keluarga sendiri yang telah mengajarkan banyak makna tentang hidup.
    Setelah menghilang dari pandanganya Pak Amir bergegas pulang ke rumah, di rumah dia langsung disambut istrinya dengan wajah sedih, Pak Amir yang hanya mengira itu karena kepergian Hasan ternyata bukan. Pak Amir pun mendekati Ibu Raudah seraya bertanya kenapa.
    “pak tadi ada orang dari kelurahan yang mengumumkan semua penduduk kampung ini wajib punya KTP, kalau tidak kita bisa diusir dari sini pak “.
    “ owh ya sudah, kalau begitu mumpung masih ada waktu yuk kita ke kantor lurah”.
    Ibu Raudah menggelang” saya tidak mau ketempat lurah bermuka dua itu pak “.
    “ lho ibu tidak boleh berkata begitu dong, ayo dicoba dulu, nanti keburu siang kan panas, kasian ibu kalau kepanasan.”.
    Ibu Raudah tersenyum pipinya memerah.

    “kenapa tidak bisa pak lurah ?” Pak Amir heran, karena dia seolah dipersulit dalam membuat KTP.
    “ kenapa,? ya kalian harus bayar uang buat membuat KTP dulu donk “. Pak lurah memelintir-melintir kumisnya, disampingnya berdiri tegak dua pengawalnya yang berbadan besar-besar.
    “ tapi kalau bayarnya sebesar itu, uang kami tidak cukup pak “
    “ kalau tidak cukup ya tidak pegi saja dari kampung saya ini “
    “ apa tidak ada toleransi buat kami pak ?”
    Pak lurah menggelang dan mengusir paksa Pak Amir dan istrinya. Pak Amir dengan beringsut-ringsut pulang kerumah. Panas matahari mulai menyengat dan terasa membakar kulit, udara yang bertiup juga ikut memanas, bahkan dedaunan dengan cepat mengering. Tapi Pak Amir tetap tenang dan tersenyum ke pada sang istri yang terus mengeluh di jalan, walau dalam hatinya sedang gundah akan kemana dia setelah ini.

    “ menunggu apalagi bu, menunggu keajaiban “.
    “tapi akan kemana kita pak, kita tidak punya keluarga di daerah sini pak “.
    “ kalau itu biar allah saja nanti yang membimbing kita “. Malam itu kelurga Pak Amir bersiap tuk pergi dari situ, mereka memang tidak tahu dengan peraturan KTP itu, dan mereka juga tidak tahu kalau saat ini sedang ditipu, bahwa KTP itu hanyalah jebakan pak lurah untuk mendapatkan tanahnya Pak Amir secara Cuma-Cuma, karena Pak Amir yang tak sekolah tak pernah mengerti dan mengetahui tentang hal itu. Dan dia membiarkan dirinya ditipu mentah-mentah. Oleh seorang lintah.
    Kerlap-kerlip lampu malam yang semakin redup tak mampu lagi menerangi jalanan, ini adalah malam terkahir buat Pak Amir menapaki jalan ini sepulang dari mesjid, walau kadang ada rasa rindu, tapi hanya kapada jalan ini, dan kepada mesjid yang ditujunya sepoi-sepoi angin malam menyibak rambutnya.
   
    Malam berlalu begitu cepat, pagi datang, matahari bersinar, Pak Amir dan istrinya sudah siap tuk berkemas. Tinggal menunggu kedatangan pak lurah yang akan mengusir mereka, atau menunggu keajaiban yang terjadi sehingga pak lurah berubah pikiran dan tidak jadi mengusir mereka. Diantara dua pilihan itu yang terjadi adalah pak lurah datang bersama kedua pengawalnya, dan sudah pasti untuk mengusir mereka, Pak Amir dan istrinya yang sudah siap, di luar mereka disambut tetangga mereka, ada yang mencibir, ada yang kasihan tapi mereka sama sekali tidak bisa berbuat apa apa, hanya diam terpaku melihat kedua pasangan suami-istri ini di usir dari tempat tinggalnya. Namun tiba-tiba bibi warung datang sambil marah-marah.
    “ kenapa bi ?” Tanya Ibu Raudah. Air matanya ditahannya agar tidak terjatuh.
    “Tanya kenapa lagi, hutang kalian, cepat bayar, nanti pergi dan tidak bayar lagi “ kadang ada juga orang yang suka melihat kita jatuh malah ingin menginjak dan menghina kita, seperti bibi ini.
    “ tapi bi… “ air mata Ibu Raudah menetes.
    “tidak ada tapi-tapian, kalau tidak…”
    “ kami bayar pakai ini saja bi, bisa kan “ Pak Amir menyerahkan beberapa barang daganganyya, dia tidak tahan melihat istrinya sedih.
    Namun jawaban bibi itu “ kalau Cuma segini tidak cukup, semua… saya minta semua …“.
    Dengan ikhlas hati Pak Amir menyerahkan semua barang dagangannya, entah bagaimana dia akan hidup, penghasilan satu-satunya sudah raib diambil orang. Dia tidak tahu apakah ini cobaan atau siratan takdir yang terus berkecamuk. Pak Amir hanya bisa menarik napas setelah memberikan semua barang dagangannya dengan ikhlas dan berlalu pergi bersama istrinya, di hadapan para tetangga mereka pamit, meminta maaf dan ridho kalau selama ini banyak menyusahkan. Dengan membawa pakaian seadanya mereka pergi meningalkan kampung halaman mereka.

    “kenapa bapak berikan semua, sekarang kita gimana ?”
    “ ibu…bapak hanya tidak tahan melihat ibu bersedih, apalagi sampai airmata ibu keluar, bapak juga bisa ikut sakit “
    Ibu Raudah tersenyum, walau dia tahu sakit, tapi dia mencoba tuk membuat suaminya tersenyum, dilihatnya wajah seseorang yang telah meminangnya Sembilan tahun lalu ini tidak ubahnya dengan dulu, seorang pria yang selalu teguh pada prinsip dan sayang sekali pada istri. Dalam hati dia juga tidak ingin melihat suaminya ini sedih.

    “ ibu kenapa ?” Pak Amir melihat istrinya tiba-tiba melemah setalah keluar dari mesjid.
    “ tidak apa-apa pak, mungkin kecapean “.
    “ bapak carikan makanan dulu ya “ Pak Amir pergi mencari makanan, dengan sisa sedikit uang dia bisa membeli dua butir roti tawar dan sebotol air minum murni, bergegas dia langsung menemui istrinya dan memberikan padanya. Ibu Raudah segera bangun dan memakan makanan itu perlahan.
    “ bapak tidak makan ?” Ibu Raudah memberikan sepotong roti.
    “ tidak bu, bapak sudah tadi makan disana “ pak Amir berbohong, sang istri mengangguk dan melanjutkan makannya. Tanpa mengetahui keadaan suaminya.
    Karena Pak Amir merasa istrinya sangat kelelahan, dia memutuskan unutk istirahat di sebuah ronda di pinggir jalan raya. Dirasanya badan istrinya memanas, ingin dia mencari obat tapi kemana, wilayah ini asing baginya, dia tidak tahu mau kemana, kalau dia pergi, takut meninggalkan istrinya sendirian dalam keadaan begini, dia harus memilih, tapi sang istri menolak, dia merasa tidak apa-apa, dan tidak ingin Pak Amir pergi meninggallkannya.
    “ besok juga sembuh pak “.
    Pak Amir tersenyum, dan malam itu mereka berdua tertidur di ronda itu, Pak Amir tidur lebih larut, dia menunggu istrinya tidur lebih dulu, dan menyelimutinya agar tak kedinginan di malam yang tak bersahabat ini, dan Pak Amir juga ikut tertidur.

    “dimana saya “ Pak Amir terheran saat terbangun dari tidurnya, dia kini berada di sebuah wilayah yang dikelilingi dengan segala tumbuhan hijau yang indah dan aroma mawar yanag tercium dimana-mana. Kemana mata memandang yang terlihat hanya indahnya kehijaunan. Dan seketika dia teringat istrinya” Istriku… dimana istriku…?”.
    “saya disini pak “ Ibu Raudah muncul dari balik sebuah pohon besar.
    “ ibu sudah sehat, tidak panas lagi ya “ Pak Amir memegang kepala istrinya.
    “ iya pak ibu sudah sehat, dan ibu sekarang merasa bahagia sekali, terima kasih ya pak, ibu senang sekali selama ini bisa hidup dengan bapak “.
    “ maksud ibu ? “ Pak Amir heran, tapi belum sempat terjawab Ibu Raudah tiba-tiba menghilang dari pandangannya. Pak Amir heran sendiri dan panik.
    “ ibu…” Pak Amir terbangun, napasnya tak teratur, dilihatnya kesamping,  masih ada, istirnya masih ada pulas tertidur. Azan subuh bergema tak lama setelah itu, pak amir tidak tega membangunkan isrtinya yang kemungkinan masih sakit, dia berangkat sendiri ke mesjid dan menitipkan istrinya pada allah. Sepulang dari mesid, sang istri masih tertidur. Dengan setia Pak Amir menunggu disampingnya.
    “ Pak Amir” tiba-tiba ada suara yang dikenal Pak Amir, dia menoleh kearah sebuah mobil hitam di depannya.
    “ Hasan “ balas Pak Amir senang.
    “ibu kenapa pak “ Hasan bersegera turun dari mobil. Dan mencium tangan Pak Amir.
    “ ibu sakit san “.
    “ ya allah, yuk pak kita bawa ke rumah sakit “.
    “jangan san, bapak tidak punya uang “.
    “ masalah uang itu biar saya nanti pak”
    Pak Amir sebenarnya tidak mau, tapi karena keadaan yang memaksa dia pun menerima tawaran hasan, Hasan mendekati Ibu Raudah, dia merasakan lain, dia memegang-megang kulit Ibu Raudah, kemudian memegang tangannya dan memeriksa nadinya, dan alangkah terkejutnya Hasan ketika merasakan denyut nadi Ibu Raudah.
    “ pak… ibu…ibu…”
    “ kenapa ibu san “
    Hasan menggeleng.
    “ kenapa san ?” Pak Amir mulai panik dan mendekati istrinya, digoyang-goyangnya tubuh istrinya. Dirasakannya kulitnya yang sudah tak berasa, dan ditaruhnya jarinya di dekat hidung. Air mata Pak Amir meleleh perlahan, dipeluknya dengan segera istrinya itu.
    “ ibu…kenapa kau pergi “ tangis Pak Amir, sambil memeluk istrinya, yang kini sudah tak bernyawa. Ibu Raudah meninggal dan kini yang ada hanya jasadnya yang sudah tenang dan damai, sedangkan arwahnya menatap dari kejauhan, dari tempat indah yang dijanjikan tuhan kepada setiap istri yang selalu taat kepada suaminya. Dia menatap suaminya yang telah dia tinggalkan untuk selamanya.

Alhamdulillah selelsai
Malam, 19-08-2010…

0 komentar:

Posting Komentar