Selasa, 01 Februari 2011

ucapan rindu di malam terakhir

Ucapan rindu di malam terakhir…
BULAN PUASA akhirnya tiba, sebuah bulan penuh berkah, dimana-mana selalu dipenuhi dengan berkah dan ampunan, dalam sahur ada pahala, dalam berbuka begitu banyak nikmatnya, juga bulan libur panjang setelah menetap sepuluh hari di pondok. Semua santri pada bergembira menyambutnya, entah apa yang membuat mereka begitu senang, tapi satu hal yang pasti, utlah (libur). Bagi kami tidak hanya mengharap libur pulang di rumah, di pesantren juga bisa dianggap libur, karena semua kegiatan dihentikan, jam sekolah dipendekkan, bahkan ustadnya juga hanya sedikit yang mau mengajar, itu juga yang memiliki keihklasan tertinggi yang mau mengajar sepenuh hati selama bulan puasa. Yang biasa sembunyi-sembunyi tidur di waktu jam pelajaran, saat bulan puasa berani terang-terangan, karena sekarang tidak sendiri, yang lain juga ikutan.
    Hari pertama memasuki ramadhan begitu indah rasanya, aku sebagai salah satu panitia penyaji konsumsi buat berbuka mulai sibuk, sore ketika berbuka sibuk, malam ketika tarawih sibuk, aku dan panitia lainnya menanggung amanah yang sangat besar, yaitu menyediakan makanan dan minuman berbuka buat beratus-ratus santri. Belum lagi buat kami sendiri, untungnya dana yang masuk setiap tahunya mencapai lebih dari cukup, jadi sudah pasti, buat buka juga selalu lebih, tapi kami tidak berani mengambil hak-hak itu untuk kepentingan sendiri, kalau di kantor istilahnya korupsi, haram… karena akan di pertanggung jawabkan nantinya, walau kadang ada juga para santri yang berinsiatif dengan menyebut itu tidak haram, melainkan hanya subhat, yang artinya antara halal dan haram tapi mendekati haram, hampir sama kan?...
    Memasak air, membikin air syrup, dan membagikannya kepada para santri yang sudah antri buat buka puasa, begitulah tugasku sebagai salah satu panitia. memasak dan membagi kadang tidak menjadi soal, yang sering menjadi soal adalah membikin minuman itu sendiri, apakah manisnya sudah pas, kurang atau terlalu manis, ini yang harus kami perhatikan, maka sebagai pengurus kami mencicipi minuman itu di ujung lidah sebagaimana cara yang diperintahkan rasul, tapi kebiasaan di pondok kami, selang beberapa menit kemudian, ada lagi yang mencoba satu, setelah itu ada lagi, apa tidak cukup satu. Dan aku sebagai salah satu panitia juga tidak mau kalah, harus ikut mencicipi.
    Tarawih bersama diimami oleh kaka kelas kami, yang juga masih berstatus sebagai santri. Tapi sudah senior dan dipanggil dengan gelar muallim, kalau aku sekarang hanya sekedar mudabbir, tahun depan pasti jadi muallim juga, dalam tarawih kadang aku lihat dulu siapa imamnya, kalau kawanan peci dan sarung, pasti lama, jadi tarawih malam ini ditunda dulu dengan alasan tugas panitia, tapi kalau imamnya para kawanan netral, pasti pengin cepat juga bawaannya, jadi tarawih malam ini dilaksanakan.
    Di pondokku terbagi tiga kelompok, yang pertama kelompok peci dan sarung, yaitu para santri yang suka sekali beribadah, kemana-mana pakai peci setiap bertemu selalu tersenyum dan menyebarkan salam lebih dulu, hapalan alqurannya sudah pasti banyak. Dan yang kedua adalah para broken, ini adalah kelompok dari para santri yang suka sekali melanggar, sholat sering di kamar, ngaji jarang, pakai peci Cuma buat sholat, salam Cuma buat mencari muka, begitulah mereka, dari ciri-ciri sudah pasti, kebanyakan dari mereka tidak berambut, botak. Hapalan mereka sudah pasti jangan ditanya, sedikit. Kalau yang ketiga ini, kelompok netral, menurutku aku termasuk salah satu dari kawanan ini, para santrinya tidak memihak manapun, kalau gabung sama kelompok peci dan sarung, maka ikutan alim, kalau gabung sama kelompok broken, maka ikutan melanggar, tapi sewajarnya. Begitulah ketiga kelompok yang sudah ada turun-temurun sejak dulu.
    Seusai tarawih para santri junior berlarian ke kamar mengambil gelas, tuk mengambil air yang kami sediakan, juga tho’am, (makanan ringan,) snack, tapi ada juga yang masih membaca alquran, target mereka jelas, sepuluh hari khatam satu alqur’an.
    Aku kadang iri melihat para santri yang masih bisa santai mengaji, tapi aku panitia, terlalu banyak tugas dan tanggung jawab, maka aku berinsiatif waktu liburan inilah aku akan mengahatamakan alqur’an, paling tidak satu kali.




    “ kamu di jemput ya id ?” Ihsan bertanya padaku sambil menenteng tas besar.
    “ na’am limazha ?”.(iya,kenapa ?)
    “ la, ana mau ikut numpang aja boleh kan ?”.
    “ boleh dong san, rumah kita kan dekat “. Aku kembali membereskan barang-barangku, hari ini adalah hari kesepuluh, sudah tiba saatnya bagiku tuk pulang, setelah lama di pondok. Sekarang waktunya berkumpul bersama keluargaku, dari kejauhan aku mendengar suara anak kecil memanggil-manggil namaku.
    “ yee…ka Said pulang “ wajahnya muncul di balik lemariku.
    “ Adi “ ternyata adikku.
    Keluargaku sudah datang dengan sebuah mobil kijang jaman dulu, senangnnya hatiku di jemput, artinya walau aku di lepas di pesantren, aku masih disayangi. Adikku Adi langsung memelukku. Tas dan ransel ku kubawa langsung ke mobil, hampir aku lupa sama Ihsan, kucari dia ke kamarnya tidak ada, ternyata sedang mandi di irigasi.
    “ san cepat, abi sudah datang “.
    Ihsan segera naik ke permukaan, mengeringkan badannya yang basah dengan handuk entah milik siapa, lalu berpakaian, berjalan ke arahku sambil cengengesan. Kami segera berjalan ke mobil, keluargaku sudah siap, Ihsan tersenyum kearah ibu dan ayahku, lalu kami masuk ke dalam mobil.
    Bentangan langit dan lukisan awan-awan di hari yang penuh kedamaian kian beradu, berganti-ganti bentuk, alam tersirat akan kaya makna, takdir tidak dituliskan di atas awan, juga tidak bisa ditentukan bintang, apalagi diramalkan orang, takdir hanya tuhan yang tahu, semua selalu menjadi rahasia, hanya orang-orang yang di pilih lah yang di biarkan tahu, jalan juga menyimpan banyak rahasia, rahasia dari perjalanan orang-orang jaman dulu yang menuntut ilmu dengan berjalan kaki, perjalanan orang-orang yang mencari kebenaran, dan perjalanan para pahlawan dalam memperjuangkan kemerdekaan. Bahkan jalanan itu kini menjadi isyarat dari takdir yang tidak diketahui manusia akan berada dimana dia setelah ini. Dan akan menjadi pengalaman tersendiri bagiku. Mobil kuterus melaju, membelah jalan, Ihsan tertidur di sampingku, wajahnya Nampak kelelahan, dia sebagai keamanan selama menjadi panitia, orang yang dianggap paling menakutkan, padahal hanya berdiri di depan mesjid sambil memegang polpen dan kertas. Apanya yang menakutkan.


    Hari pertama aku berbuka begitu nikmat rasanya, berkumpul bersama keluarga, makanan dihidangkan dan tersaji rata, tidak ada lagi antri saat mengambil makanan, antri yang melebihi antrian loket keret api. Panjang sekali, padalah makannya Cuma lima belas menit, antrinya bisa tiga puluh menit, tapi  sekarang aku bisa santai sejenak, sambil menggoda adikku yang sudah lama tidak bertemu denganku. Azan berbunyi, buka langsung aku makan makanan yang tersji.
    Tarawih aku diajak Ihsan tuk sholat di musholla dekat rumah kami, yang tidak jauh kalau berjalan, di sepanjang jalan, aku melihat anak-anak bermain kembang api, bibi pencok, juga para penjual makanan khas ramadahan jagung bakar, kenapa disebut makanan khas ramadhan, aku sendiri tidak tahu, yang kutahu hanya kalau bulan pausa tiba, para penjual jagung bakar pasti ada dimana-mana. Tiba di musholla kami langsung disambut baik oleh kaum penjaga muhsolla.
    “ weih anak pesantren sudah datang, siap jadi imam hari ini ?”. beliau menggoda kami.
    Aku menunjuk Ihsan, Ihsan menunjukku, maka tunjuk-tunjukkan terjadi, aku tahu Ihsan termasuk salah satu anggota broken pondok juga, artinya hapalannya kurang dan dia takut. Untungnya saat itu pak haji datang, beliau yang biasa menjadi imam. Kami pun sholat berjamaah, isya, tarawih, setelah itu ada ceramah singkat dari pak haji, tapi alangkah terkejutnya aku, aku ditunjuk kaum tuk maju dan memberi kan ceramah singkat, malu kalau menolak aku pun maju dan sambil mengingat ingat hapalanku mulai aku berkhutbah, dari pojok sana aku melihat Ihsan sedang menahan tawanya.
    “ mau kemana ?” salah seorang temanku yang dari komplek sebelah mencegah, Kamil namanya.
    “ kenapa mil ?” Ihsan balik nanya.
    “ ya tadarus dulu lah”
    Aku mengangguk setuju, sedang Ihsan setelah kupaksa baru mau, makanya kalau di pondok rajin-rajin ngaji, gumamku. Kami mengaji bergantian, bacaanku lancar, karena sudah terbiasa, sedang Ihsan terbata-bata. Keluar musholla dia terus menunduk, mukanya memerah menahan malu.
    “ eh dek, sini dulu “ cegah bibi penjual jagung.
    Aku menoleh heran “ siapa bi ? kami ?”.
    “ iya tadi ada titipan ini, katanya buat ka Said, yang mana yang namanya ka Said “.
    Ihsan menunjukku.
    “ saya bi, tidak salah bi, dari siapa ?” aku heran, tapi tetap kuterima. Rejeki, jangan ditolak, salah satu motto santri.
    “  tadi dari seorang gadis, bibi ngga tahu namanya, dia Cuma bilang kalau kau keluar kasih jagung ini, yang sudah dia bayar “.
    Aku manggut-manggtu, setelah minta kirimkan ucapan terima kasih aku dan Ihsan segera pulang ke rumah masing-masing…dan aku tidak tahu kenapa gadis itu mau memberiku yang ada dipikiranku mungkin dia memberi karena aku tadi mengajinya bagus.
       


    Hari-hari berikutnya pun begitu, aku selalu di kasih sesuatu seusai tadarus, kadang jagung, kadang gado-gado, dan juga orang yang mengasihnya berbeda-beda, tapi aku sama sekali tidak tahu siapa yang memberikan semua ini, aku ingin sekali ketemu gadis itu, sekedar tuk bilang terima kasih. Itu saja.   
    “ siapa sih bi yang ngasih ?”.
    “ seorang gadis lah, biasa kan anak muda” bibi itu tersenyum menggoda ke arahku yang semakin heran, anak muda apanya, aku juga anak muda. “ owh iya ini tadi ada titipan surat darinya “.
    Aku mengambil surat itu yang hanya berupa sebuah kertas yang dilipat-dilipat unik dan rapi, agar ketika dibuka tidak bisa dikembalikan ke bentuk semula, aku membaca isinya yang ditulis dengan tinta hitam :
    Ka Said yang baik…
    Maaf sebelumnya ya ka, saya mengirim surat ini untuk memberitahu ka Said, nama saya Ellina, ka Said pasti ingin tahu, ya kan ?...
    Ka Said mungkin surat ini tidak panjang, soalnya Ellina takut ketahuan orang, Ellina sih inginnya bicara langsung dengan ka Said, kalau ka Said ada waktu, besok selesai tadarus ya kak, di samping musholla…
    Salam hangat
    Ellina….
    “ wuih… Said dapat surat cinta “ Kamil yang dari tadi ikut membaca berkomentar.
    “ surat cinta ??” aku dan Ihsan bingung, saling pandang, Ihsan mengangkat bahu tidak tahu, begitu pula aku. “ emangnya siapa sih Ellina ini mil, kamu kenal ?”.
    “ Ellina itu kan anaknya haji Rasyid dari komplek antaludin, orangnya cantik kaya lagi, beruntung sekali kamu id “.
    Apanya yang beruntung, ungkapku dalam hati, ini bisa menjadi musibah, apalagi ini surat, ada rasa yang aneh dalam surat ini. Entah apa, juga aku tidak mengerti apa itu surat cinta, apa cinta bisa diisyaratkan pakai surat, yang aku tahu kalau cinta itu ya sayang, dan kalau sayang maka kita kan hormat pada orang itu, seperti itulah definisi cinta yang kuketahui, dan yang kucintai tentu saja kedua orang tuaku, adikku, juga para asatidzhah. Tapi kalau bukan dari itu cinta apa namanya.



Besoknya sesuai janji seusai tadarus aku akan menemuinya, Kamil dan Ihsan tidak mau ikut, tidak mau mengganggu, tambah bahaya pikirku, aku takut kalau terjadi fitnah, dengan paksaan kupaksa Ihsan tuk ikut denganku menemuinya yang tengah duduk sendiri di samping musholla, dia duduk sambil mengasuh sajadah yang digulung bersama mukenanya, rambutnya yang hitam terulur sedikit dari jilbabnya yang dia biarkan sedikit terbuka.
“ Ellina ya ?”.
Dia menatap ke arahku, matanya sedikit melotot, kaget lalu mengangguk “ iya ka”.
“ ada apa el, ada yang mau dibicarakan ?”. aku bertanya, Ihsan colek-colek belakangku ingin segera pulang, tapi bajunya langsung kutarik, kalau lari bajunya sobek, seenaknya aja ingin meninggalkan aku bersama permpuan yang bukan muhrimku.
“ hmm… duduk dulu deh ka “ Ellina mempersilahkan sambil tersnyum tipis, dia menatap Ihsan dengan tatapan aneh, seperti tidak menginginkan ada kehadiran orang ketiga.
Aku dan Ihsan duduk sedikit menjauh darinya, dia merapat ke dekatku, aku menggeser Ihsan, Ihsan bergeser, Ellina merepat lagi, aku geser lagi, Ihsan juga, sampai Ihsan membisikiku mau jatuh ke bawah. Aku langsung bicara “ bicara dari situ saja bisa kan el “.
Dia terdiam, menatapku lalu berucap “ kak Said besok sibuk ngga ?”.
“ aku menggeleng, kenapa ?”.
“ kalau gitu mau ngga nanti jalan sama Ellina, kita buka puasa di luar?”.
aku diam sejenak, minta pendapat Ihsan, tidak ada pendapat yang meyakinkan, akhrinya aku setuju. kami segera pulang ke tempat masing-masing, sebelumnya tadi Ellina sempat hendak menyalamiku, tapi segera kukantupkan tanganku di depan dada, melihat ku begitu dia juga melakukan hal yang sama.



Ketika awan mulai meredupkan pantulan matahari yang kian turun-turun dan turun. Aku baru terbangun dari tidurku, ashar telah lewat, aku menepuk jidatku yang salah pakai jam weker, yang masih terpasang jam buat sahur, walhasil aku tidak sholat berjamaah ashar ini, oh hampir aku lupa sama janji malam tadi, aku ingat-ingat dimana kami berjanji, aku lupa. Kubawa mandi sebentar, menyegarkan badan, berpakaian dan baru ingat, kami janji di KFC kantor pos. setelah rapi luar, atas bawah stabil aku berangkat.
“ sudah lama ya nunggunya “. Ketika aku tiba Ellina sudah tiba lebih dulu, sendiri, dengan pakaian yang sungguh indah, busana muslimah warna puith kemilau, kepalanya dibalut kerudung langsung pakai, sebuah senyuman mengambang di wajahnya.
“ ngga juga, ka ayo duduk disini “.
Aku duduk di kursi yang berhadapan langsung dengannya, ada perasaan aneh yang sedang terjadi di dalam batinku, apa ? aku tak tahu, kami ngobrol sejenak tentang kehidupan kami, buku favorit kami, dan segala hal yang menarik, tapi aku langsung mencegahnya ketika mau membicarakan tentang guru-guru, aku menolak dengan tegas, aku itdak mau, bagiku guru atau ustadz adalah orang yang paling kusegani, siapapun dan dimanapun, kalau berprofesi sebagai guru, pasti akan kuhormati. tanpa terasa azan magrib terdengar, kami berdoa masing-masing dan langsung menyantap hidangan yang sudah dipesan. Waktu terus bergulir, aku larut dalam pembicaraan yang tak penting, padahal belum sholat magrib, sudah terlalu lama menunda, aku takut, aku segera menghentikan pembicaraan ini, dengan sopan aku bicara sama Ellina kalau aku ingin sholat, dia mengerti kami pun pulang.
“ ka Ellina boleh ikut kaka ngga ?”.
“ la emangnya kamu tadi kesini pakai apa?”.
“ tadi diantar ka “ wajahnya begitu memelas.
Aku mengalah, aku mengajaknya, tapi dengan syarat, dia harus menghadap samping, selama berkendara takut sekali aku, karena sebentar-sebentar, Ellina memegang pinggulku dan memeluknya, aku sempat oleng beberapa kali, kunasihati dia agar jangan begitu lagi karena haram hukumnya.



Aku tidak tahu apa yang ada dipikiran anak yang satu ini, tiap malam menungguku Cuma buat bicara sejenak, kadang minta diajari ngaji, padahal ngajinya sudah bagus, lancar, bahkan suaranya lebih indah dari suaraku. Kadang dia curhat tentang hal-hal yang apa saja baru dia alami, pernah dia minta no. handphoneku, tapi aku tidak punya, jadi tidak jadi, katanya ingin membelikan aku sebuah, tapi kutolak, bukan masalah aku tidak mau menerimanya, tapi masalahnya, aku takut tidak bisa merewatnya, itu masalahnya.
Bintang di langit ikut menyaksikan kami yang sedang berdua, angin malam membelai kami sepoi-sepoi, aroma jagung bakar selalu membuat suasana jadi tambah indah, ditambah lagi aku juga makan jagung bakar itu, enak rasanya, dan setalah kian lama berlalu, aku masih tidak mengerti kenapa Ellina sebaik ini padaku, Kamil lewat di depan kami, suit..suit sendiri, apa juga aku tidak mengerti.
“ ka, Ellina boleh ngomong sesuatu ngga “. Ellina mentapku. Aku menatapnya.
Aku mengangguk, soalnya di dalam mulutku masih ada jagungnya, kalau bicara, jagungnya pada keluar.
“ hmm… ka Said pernah ngga pacaran ?”.
“ pacaran ?” aku bengong, semua makanan itu sudah masuk kelambungku.” Kaka juga ngga tahu apa itu pacaran, ?”.
“ owh…” Ellina mangguk-mangguk dan mulai menjelaskan apa yang baru saja dia sebutkan, sedikit-demi sedikit dia jelaskan padaku tentang apa itu pacaran, dan apa itu cinta kepada lawan jenis. Dan akhirnya aku mengerti apa maksud dari semua ini. Dan kenapa selama ini dia begitu baik padaku.
Aku pun diam seribu bahasa,  kutatap wajahnya lekat-lekat, ada sedikit keragauan di hatiku “ kaka belum pernah pacaran,” jwabku singkat sambil kembali melanjutkan makan.
“ ka “ Ellina memegang tanganku, langsung kutarik “ kaka mau ngga jadi… jadi…”.
“ maaf ya el, kaka anak pesantern “ jawabku , dan semoga dia mengerti.
“ pacar Ellina dulu juga orang pesantern ka ?”.
“ nah lalu sekarang dia dimana ?”.
“ masih ada, tapi sudah putus, “ istilah baru lagi yang kutahu, ternyata pacaran saja ada kata putusnya, padahal belum resmi halalnya, masih haram yang pasti.
“ kalau niat kamu berteman dengan kaka begini, lebih baikkan ngga usah, kaka jadi ngga suka”.
“ tapi kenapa ka ?” kulihat wajah Ellina memucat, terpancar rona kesedihan di kedua matanya, air mata hendak keluar dari celah-celah mata indah itu.
“ kan sudah kaka bilang, kaka anak pesantren,” aku diam sejenak “ dan ngga mau pacaran, itu haram, langsung nikah aja kan beres, apa susahnya sih Ellina,”. Aku berdiri ingin segera pergi, pantas aku sudah merasa aneh pada hatiku ini, ternyata itu penyebabnya. Tapi langkahku tertahan. Ellina memegang kedua tanganku erat sekali, tidak bisa kutarik, kalau kutarik dia juga ikut tertarik.
“ kalau begitu Ellina akan menunggu, menunggu ka, sampai kaka mau menikahi Ellina, keputusan Ellina sudah bulat ka, Ellina ngga mau melepasin tangan kaka sebelum kaka  bilang iya “. Ellina menatapku dengan berlinangan air mata.
Aku diam lagi “ tapi kita kan masih muda, lebih baik pikirkan sekolah saja dulu “.
“ asal kaka janji, mau menikahi Ellina, begitu keluar dari pesantren “.
Alam menayksikan kembali kisah kehidupanku, dedaunan yang gugur melambai-lambi ke arahku.dan jalan kembali menyimpan kisah, kisah cinta yang tak pernah kupikirkan sebelumnya, dan jalanan pula yang menjadi saksi malam ini, di malam sepuluh terakhir menjelang hari raya idul fitri. Di malam yang indah penuh bekah, jalanan menjadi saksi sejarah hidupku, aku mengiyakan apa yang diaktakan Ellina. Saking senangnya Ellina langsung segera memelukku, tapi kutahan dulu,” nanti ada saatnya ya, calon istriku “ . dia langsung mencium tanganku.

Alhamdulillah selesai…
Tanggal 06-09-2010…siang…

0 komentar:

Posting Komentar